Adapun menurut keyakinan kami umat Islam, Yesus adalah makhluq
pilihan yang telah dilahirkan oleh Maryam putri Imran dengan cara khusus
dan ajaib yang telah dikehendaki oleh Allah SWT, yang diutus kepada
Bani Israel untuk meluruskan penyimpangan yang telah terjadi dalam
ajaran Taurat, yang tidak pernah disalib meskipun hanya sebentar,
ataupun hingga teraniaya dan terbunuh secara menyedihkan, melainkan
justru diwafatkan dan diangkat dengan cara terhormat di sisi Allah SWT.
Dan menurut kami umat Islam, Tuhan adalah Maha Suci dari melahirkan
ataupun dilahirkan, terlebih jika harus dilahirkan oleh makhluq-Nya
sendiri, ataupun hingga dibunuh oleh sebagian makhluq-Nya. Dan Tuhan
juga adalah Dzat Pengampun yang bisa mengampuni hamba-hamba-Nya dengan
cara yang lebih layak, tanpa harus merubah sepertiga dari diri-Nya untuk
menjadi makhluq yang justru memiliki kelemahan dan kekurangan. Maha
Suci Tuhan dari segala bentuk kelemahan dan kekurangan. Dan Maha Suci
Tuhan dari segala bentuk penganiayaan fisik oleh makhluq-Nya sendiri,
karena sesungguhnya Tuhan adalah Dzat Maha Luas yang jauh melampaui alam
fisik yang nyatanya memiliki kelemahan dan keterbatasan.
Dan selain itu, menurut kami, meski manusia belum sampai menuduh
Tuhan telah teraniaya secara fisik hingga terbunuh oleh makhluq-Nya
sendiri, dan hanya baru menganggap-Nya telah mengambil seorang anak
sekalipun, Tuhan sudah begitu sangat keras memberikan peringatan dan
ancaman kepada manusia, di mana Dia menjelaskan bahwa menuduh-Nya telah
memiliki seorang anak telah hampir mengakibatkan langit pecah, bumi
terbelah, dan gunung-gunung runtuh. Tuhan yang telah menciptakan dan
mengutus Yesus AS berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya berikut ini:
“Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil
(mempunyai) seorang anak’; Sesungguhnya kalian telah mendatangkan suatu
perkara yang sangat mungkar; Hampir-hampir langit pecah karena ucapan
itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh; karena mereka mendakwa
Allah Yang Maha Pemurah telah mempunyai seorang anak; Dan tidak pantas
bagi Tuhan Yang Maha Pemurah untuk mengambil (mempunyai) seorang anak;
Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada
Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba (belaka).” (Maryam: 88-93)
Dalam keyakinan kami umat Islam, Yesus AS adalah sosok yang harus
juga kami hormati sebagaimana kami menghormati Rasulullah Muhammad SAW
dan juga para rasul lainnya. Kami umat Islam tidak membeda-bedakan di
antara mereka, hingga misalnya kami harus mengagungkan Rasulullah
Muhammad SAW sampai menganggap beliau sebagai anak Tuhan yang bisa
disembah dan bisa menjadi tempat memohon dan berdoa. Semua para nabi dan
rasul Allah SWT, bagi kami, hanyalah para makhluq yang sama seperti
umat mereka, hanya saja mereka diberi kelebihan berupa mukjizat sesuai
dengan keadaan zaman masing-masing, serta telah memperoleh jaminan
keamanan dan keselamatan di akhirat kelak. Dan meskipun sebagian para
rasul tersebut dianugerahi keutamaan di atas sebagian yang lainnya,
namun itu tidak sampai menjadikan kami mengimani sebagian mereka sambil
mengingkari sebagian yang lain. Kami umat Islam beriman kepada setiap
orang dari para rasul tersebut. Dan kami meyakini bahwa mereka semua
memiliki aqidah dan kepatuhan yang sama, tanpa perbedaan sedikitpun,
yaitu sama-sama beriman kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya serta
mematuhi-Nya dalam segala perkara, dan bukan mematuhi ‘tuhan-tuhan’
selain-Nya.
Dan persamaan dalam aqidah dan kepatuhan itulah yang menjadikan para
rasul tersebut sebagai orang-orang yang sama-sama beragama Islam atau
Muslim. Sehingga, pada dasarnya, meskipun para rasul sebelum Rasulullah
Muhammad SAW tersebut telah membawa syari’atnya masing-masing dengan
ketentuannya yang tersendiri, namun inti dari semua syari’at tersebut
adalah sama, yaitu Islam, Islam dalam arti beriman kepada Allah SWT dan
mengesakan-Nya serta tunduk dan mematuhi segala perintah dan aturan-Nya.
Dan hanya bentuk aturan Allah SWT yang bersifat teknis sajalah yang
tampaknya menjadi letak perbedaan di antara syari’at-syari’at mereka
tersebut; seperti misalnya perbedaan antara syari’at Yesus AS dengan
syari’at Muhammad SAW dalam perkara shalat, di mana dalam syari’at Yesus
AS kita tentu tidak mendapati perintah shalat dengan diharuskan membaca
surat al-Faatihah di dalamnya, karena memang al-Qur’an sendiri
pun juga belum diturunkan ketika itu. Dan di sinilah kita mendapati
keterangan bahwa shalat yang dipraktikkan dalam syari’at Yesus AS
ternyata berbeda dengan shalat yang dipraktikkan dalam syari’at Muhammad
SAW, begitu juga mungkin dalam syari’at para nabi dan rasul lainnya, di
mana akan terdapat sisi persamaan dan perbedaan dalam teknis shalat
mereka masing-masing. Dan itulah salah satu letak perbedaan di antara
para rasul, meskipun mereka semua sama-sama beragama Islam pada
hakikatnya. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tua kalian, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah Pelindung kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj: 78)
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’.” (Al-Baqarah: 132)
“(Yusuf berdoa:) Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau
telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah
mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir (penerjemahan) mimpi. (Ya Tuhan)
Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat,
wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (Yusuf: 101)
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa (Yesus) serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami (juga)
adalah orang-orang Muslim (yang tunduk patuh) kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 136)
Dari beberapa terjemahan ayat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
Yesus AS yang telah dianggap oleh umat Kristen sebagai anak Tuhan pada
hakikatnya adalah seorang Muslim, sebagaimana Islamnya Nabi Ibrahim AS,
Ismail AS, Ishaq AS, Ya’qub AS, Yusuf AS, Musa AS, dan yang lainnya,
dengan Islam yang lebih bermakna aqidah dan kepatuhan terhadap aturan
Allah SWT, dan bukan Islam yang bermakna syari’at untuk umat manusia
akhir zaman. Dalam beberapa perkara yang bersifat teknis beserta
sifat-sifatnya, seperti tata cara shalat, ketentuan zakat, perkara halal
dan haram, dan yang lainnya, keislaman para rasul tersebut mungkin
memiliki perbedaan, namun dalam perkara yang bersifat keyakinan dan
ketaatan, keislaman mereka tidak memiliki perbedaan sedikitpun. Dan
hanya Allah SWT sajalah yang lebih tahu tentang hakikatnya. Dan untuk
lebih memperjelas hal tersebut, berikut adalah terjemahan ayat-ayat
al-Qur’an yang terkait lainnya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah agama Islam.” (Aali ‘Imraan: 19)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.” (Aali ‘Imraan: 85)
Dari dua terjemahan ayat al-Qur’an tersebut, kalaulah benar Yesus AS
dan para rasul lainnya sebelum Rasulullah Muhammad SAW bukanlah
orang-orang Muslim, tentu Allah SWT juga tidak akan menerima amal
kebaikan apapun dari mereka, karena memang yang akan diterima dan diakui
oleh Allah SWT hanyalah yang mengikuti agama Islam saja, sebagaimana
telah disebutkan dalam dua ayat tersebut.
Oleh karena itu, pada hakikatnya, ketika ummat Yesus AS saat itu
memang telah mematuhi beliau dengan kepatuhan yang benar, dengan
mengimani tauhid atau mengesakan Allah SWT dan mentaati perintah serta
menjauhi larangan yang telah disampaikan oleh beliau dari Allah SWT,
maka sesungguhnya mereka pun akan bisa juga disebut sebagai orang-orang
Muslim, meskipun secara syari’at pada zamannya, mereka disebut sebagai
umat Nasrani. Mereka adalah umat Islam secara aqidah dan kepatuhan,
namun Nasrani secara syari’at atau aturan teknis sesuai zamannya ketika
itu. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Maka tatkala Isa (Yesus) mengetahui keingkaran mereka (Bani
Israel), berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku
untuk (menegakkan agama) Allah?” Para pengikut setia (al-Hawaariyyuun)
menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada
Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim (yang patuh dan berserah diri).” (Aali ‘Imraan: 52)
“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa (Yesus)
yang setia (al-Hawaariyyuun): ‘Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada
rasul-Ku’. Mereka berkata: ‘Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim (yang tunduk dan patuh)’.” (Al-Maaidah: 111)
Dari dua terjemahan ayat tersebut, kita akan dapat menyimpulkan bahwa
jika para pengikut Yesus AS saja adalah orang-orang Muslim, maka tentu
Yesus AS sendiri pun juga adalah seorang Muslim, bahkan pastinya
keislaman Yesus AS akan justru lebih baik daripada keislaman orang-orang
yang mengikutinya itu sendiri, karena tentu yang sebenarnya mereka
ikuti dari Yesus AS adalah keislaman beliau tersebut, yaitu keislaman
yang berarti kelurusan aqidah dan kepatuhan yang bulat terhadap kehendak
syari’at Allah SWT.
Maka dari itu, jika saja umat Nasrani atau umat Kristen di zaman
sekarang ini juga bersedia untuk mematuhi Yesus AS dengan kepatuhan yang
benar, maka mereka pun akan pasti dan harus menjadi ummat Islam, baik
Islam secara keyakinan maupun secara aturan teknisnya untuk zaman
sekarang ini, karena Yesus AS sendiri pun juga telah mengisyaratkan
tentang akan diutusnya seorang nabi yang harus dipatuhi setelah beliau
yang bernama Ahmad atau Muhammad SAW. Hanya saja, sayangnya ayat-ayat
Injil yang menerangkan tentang isyarat kenabian tersebut tampaknya telah
dihilangkan atau dihapus. Dan memang kita tidak mendapati bukti yang
cukup kuat dan jelas untuk menerangkan tentang penghapusan ayat-ayat
tersebut dari Kitab Injil, melainkan hanya berdasarkan keterangan dari
ayat al-Qur’an saja, sebagaimana yang artinya berikut ini:
“Dan (ingatlah) ketika Isa (Yesus) Putra Maryam berkata: ‘Hai
Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian,
membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).’
Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti
yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata’.” (Ash-Shaff: 6)
Namun meskipun demikian, di dalam Kitab Injil sendiri pun juga
ternyata kita dapati ayat-ayat tentang isyarat kenabian yang semacam
itu, yang dalam hal ini, kita mendapati beberapa ayat yang menerangkan
bahwa ternyata sosok Nabi Musa AS juga pernah mengabarkan tentang akan
diutusnya seorang nabi setelah beliau yang juga harus dipatuhi oleh
umatnya. Dan inilah yang setidaknya bisa menjadi semacam bukti dalam
Injil itu sendiri, bukti bahwa ayat-ayat Injil tentang kedatangan Nabi
Muhammad SAW di akhir zaman bisa jadi memang telah sengaja dihapus dan
dibuang. Bisa jadi Yesus AS memang telah mengisyaratkan tentang kenabian
akhir zaman tersebut dalam Kitab Injil, namun saat ini isyarat tersebut
sudah tidak kita dapati lagi, karena memang ayat-ayat Injil sendiri
juga telah bercampur aduk dengan rekayasa tangan manusia.
Dan bahkan, lebih dari itu, ternyata ketika kita memperhatikan secara
lebih seksama ayat-ayat Injil tentang isyarat kenabian setelah Nabi
Musa AS tersebut, tampaknya ayat-ayat tersebut juga sekaligus menjadi
bukti atas kenabian Yesus AS, bukti bahwa Yesus AS bukanlah Tuhan,
melainkan hanya seorang nabi atau rasul sebagaimana Nabi Musa AS. Dan
berikut inilah ayat-ayat Injil yang telah dimaksud tersebut:
“(Kemudian Musa berkata:) Bangsa-bangsa yang
akan kamu duduki itu mendengarkan peramal atau petenung. Namun, kamu
tidak diizinkan oleh TUHAN, Allahmu untuk melakukan hal itu.” (Ulangan 18:14)
“TUHAN, Allahmu, akan membangkitkan seorang nabi kepadamu dari antara umatmu, dan ia akan menjadi sepertiku. Kamu harus mendengarkan dia.”(Ulangan 18:15)
“Hal ini seperti yang kamu minta kepada TUHAN, Allahmu, di gunung
Horeb pada waktu kamu berkumpul, dengan berkata, ‘Jangan biarkan kami
mendengar suara TUHAN, Allah kami lagi! Jangan biarkan kami melihat api
besar itu atau kami akan mati!’” (Ulangan 18:16)
“TUHAN berkata kepadaku, ‘Mereka mengatakan hal yang baik’.” (Ulangan 18:17)
“Aku akan membangkitkan baginya seorang nabi sepertimu dari tengah-tengahmu sendiri. Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulut-Nya, dan ia akan berkata kepada mereka seperti yang Kuperintahkan kepadanya.” (Ulangan 18:18)
Sebelumnya, mungkin perlu untuk kita ketahui bahwa ayat-ayat Injil di
atas sebenarnya adalah versi terpilih dari beberapa versi yang ada
dalam bahasa Indonesia. Karena memang, tampaknya umat Kristen sendiri
pun juga tidak terlalu mempermasalahkan antara mana Kitab Injil yang
asli dan mana yang hanya terjemahan dari Kitab Injil itu sendiri;
berbeda dengan umat Islam yang membedakan antara mana yang al-Qur’an dan
mana yang hanya terjemahan dari al-Qur’an. Ketika umat Islam
mempergunakan terjemahan al-Qur’an, mereka tidak terlalu
mempermasalahkan gaya bahasa terjemahan yang ada, selama tidak
menyimpang dari makna utamanya, karena memang terjemahan al-Qur’an
bukanlah al-Qur’an itu sendiri, yang mana tidak boleh dirubah kata-kata
dan kalimat dalam ayat-ayatnya. Namun di sini, kita tidak begitu tahu
apakah ayat-ayat Injil di atas adalah memang bagian murni dari Injil itu
sendiri ataukah sekedar terjemahan darinya, sehingga kita juga akan
tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, melainkan akan
menganggapnya sama saja seperti Injil yang asli.
Dan dari beberapa ayat Injil tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
sosok nabi atau utusan yang disinggung dalam perkataan Nabi Musa AS
tersebut adalah Yesus, meskipun namanya tidak disebutkan secara
langsung. Dan itu dapat kita ketahui secara jelas dalam ayat kutipan
yang terakhir, yaitu kitab Ulangan 18:18, di mana dari ayat tersebut
kita memahami bahwa Tuhan akan membangkitkan atau mengutus seorang nabi
seperti Nabi Musa AS dari tengah-tengah Bani Israel, yang kemudian akan
Dia beri firman atau wahyu-Nya, sebagaimana wahyu-Nya kepada Nabi Musa
AS, untuk disampaikan kepada Bani Israel itu sendiri. Ini berarti bahwa
sosok nabi tersebut adalah nabi dari Bani Israel yang akan diberi sebuah
kitab wahyu seperti Kitab Taurat, yang tentu ciri-ciri tersebut hanya
akan cocok dan sesuai dengan Yesus, yang mana juga berasal dari Bani
Israel dan juga memiliki kitab wahyu berupa Injil.
Dan bukti lain bahwa sosok nabi dalam ayat tersebut adalah Yesus adalah gaya tulisan untuk kata ganti dalam kata “mulut-Nya”,
yang mana huruf pertamanya menggunakan huruf kapital ‘N’, seakan ingin
menjelaskan bahwa sosok nabi tersebut adalah memang Tuhan Yesus yang
harus dibedakan dalam penulisan kata gantinya, sebagaimana ketika kata
ganti untuk Yesus memang selalu ditulis demikian dalam ayat-ayat
lainnya. Namun anehnya, ternyata dalam dua kata ganti yang berikutnya
tidak diberlakukan kaidah tulisan semacam itu, tanpa kita tahu persis
apa alasannya, yaitu dalam kalimat “dan ia akan berkata kepada mereka seperti yang Kuperintahkan kepadanya”, yang mana huruf pertama dari kedua kata ganti untuk Yesus tersebut tidak menggunakan huruf kapital. Dan
bahkan,dalam beberapa versi lainnya, kita justru tidak mendapati sama
sekali kata ganti untuk sosok nabi tersebut dalam kata “mulutnya” yang melibatkan penggunaan huruf kapital.
Dan bahkan juga lebih dari itu, ada juga versi lain dari ayat
tersebut yang justru berbeda sama sekali gaya bahasanya sehingga
penggambaran maknanya pun juga menjadi berbeda, yang mana tidak
menyebutkan “Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulut-Nya”, melainkan menggunakan ungkapan yang lain, yaitu “Aku akan mengatakan kepadanya apa yang harus dikatakannya”.
Artinya, di sini telah terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dan
kurang wajar yang sekaligus menjadi bukti atas wujud keragu-raguan di
antara para penulis Injil itu sendiri. Mungkin, jika saja perubahan gaya
bahasa dari kalimat tersebut tidaklah sebegitu jauh berbeda, misalnya
ungkapan “menaruh firman-Ku” dirubah menjadi “meletakkan wahyu-Ku”,
atau yang semacamnya, kita tentu tidak akan terlalu mempermasalahkan
hal tersebut; begitu juga misalnya jika umat Kristen membedakan antara
mana yang Injil asli dan mana yang hanya terjemahan Injil, agar siapapun
dapat langsung merujuk kepada Injil yang asli tersebut sebagai
referensi utamanya, sehingga siapapun akan bisa memastikan ketepatan
setiap terjemahan ayat melalui referensi utama tersebut. Namun memang
demikianlah kenyataan sulit yang kita dapati tentang fenomena Injil.
Dan selain itu, dari ayat tersebut pun juga kita mendapatkan sebuah
permasalahan, yaitu jika memang sosok nabi yang akan diutus seperti Nabi
Musa AS tersebut adalah seorang Tuhan, maka semestinya Nabi Musa AS
sendiri pun juga harus dianggap sebagai Tuhan seperti dirinya, karena
dalam ayat itu sendiri juga telah dijelaskan bahwa mereka berdua memang
memiliki persamaan, yaitu sama-sama nabi, sama-sama berasal dari Bani
Israel, dan sama-sama menerima wahyu dari Tuhan. Namun kalaupun memang
sosok nabi yang disebutkan dalam ayat tersebut bukanlah Yesus, lalu
siapakah sosok nabi tersebut, dan firman Tuhan yang seperti apakah yang
telah ditaruh di mulutnya? Dan jika memang sosok nabi tersebut adalah
Yesus, lalu mengapa ummat Kristen menuhankan Yesus yang hanyalah seorang
nabi belaka? Dan jika Yesus yang hanya seorang nabi saja dianggap
sebagai Tuhan, maka mengapa hanya Nabi Yesus saja yang dituhankan?
Bukankah umat Kristen juga tahu bahwa di sana juga terdapat banyak para
nabi, yang juga bisa dianggap Tuhan?
Dan di sinilah kita mendapati kerancuan dalam ajaran agama Kristen,
yang mana di dalamnya terdapat penuhanan yang begitu dipaksakan atas
seorang nabi, namun tidak dipaksakan atas nabi-nabi lainnya. Ayat-ayat
Injil yang telah disebutkan itu pada dasarnya telah cukup untuk menjadi
bukti atas kenabian Yesus AS, yang juga sekaligus menggugurkan ketuhanan
beliau, namun kita juga tidak tahu persis mengapa ummat Kristen masih
cenderung menolak bukti kebenaran tersebut. Maka semoga Allah SWT segera
membukakan jalan hidayah kepada ummat Kristen yang bersungguh-sungguh
dalam mencari kebenaran, karena hanya Dialah yang mampu memberikan
petunjuk kebenaran tersebut.
Lebih jauh tentang hal kenabian dalam agama Kristen, di dalam Injil
sendiri juga telah dijelaskan bahwa para nabi yang telah ditunjuk oleh
Tuhan pada dasarnya juga memiliki aqidah yang sama dengan ummat Islam,
di mana mereka juga meyakini bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah
SWT, dan bahwa Dialah Dzat Pencipta yang bersifat Tunggal dan tiada
duanya, yang karena aqidah itulah mereka menjadi tunduk dan patuh
terhadap aturan Allah SWT hingga menggolongkan diri mereka sebagai
orang-orang Muslim. Dan berikut inilah beberapa ayat Injil yang
memperjelas kesamaan antara aqidah para nabi ummat Kristen tersebut
dengan aqidah ummat Islam:
- Aqidah Nabi Musa
“Kepadamu telah dinyatakan agar kamu mengetahui bahwa TUHAN itulah Allah. Tidak ada allah selain Dia.” (Ulangan 4:35)
“Kepadamu telah dinyatakan agar kamu mengetahui bahwa TUHAN itulah Allah. Tidak ada allah selain Dia.” (Ulangan 4:35)
“Dengarlah, hai orang Israel. TUHAN adalah Allah kita. TUHAN adalah satu.” (Ulangan 6:4)
“Sekarang lihatlah bahwa Aku, dan hanya Akulah Allah!
Tidak ada Allah yang lain! Aku yang mematikan dan yang menghidupkan
orang. Aku dapat melukai orang, dan dapat menyembuhkannya. Tidak ada
orang yang dapat menyelamatkan orang lain dari kuasa-Ku!” (Ulangan 32:39)
- Aqidah Nabi Daud
“Ya Tuhan ALLAH, Engkau sangat agung. Tidak ada yang
seperti Engkau. Dan tidak ada allah selain Engkau menurut yang telah
kami dengar dengan telinga kami.” (2 Samuel 7:22)
“Tidak ada yang seperti Engkau di antara para allah, ya Tuhan, dan tidak ada perbuatan seperti yang telah Kaulakukan.” (Mazmur 86:8)
- Aqidah Nabi Salomo (Sulaiman AS)
“dan berkata, ‘Ya TUHAN, Allah Israel, tidak ada allah
yang serupa dengan Engkau baik di langit maupun di bumi. Engkau menepati
janji-Mu, dan menunjukkan kasih setia kepada para hamba-Mu yang setia
kepada-Mu dengan segenap hati’.” (1 Raja-raja 8:23)
- Aqidah Nabi Yesaya
“TUHAN berkata, ‘Kalian adalah saksi-Ku dan hamba yang Kupilih.
Aku memilih kamu supaya kamu akan menolong orang-orang percaya Aku. Aku
memilih kamu sehingga kamu akan mengerti bahwa “Akulah Ia” Akulah Allah
yang sejati. Tidak ada Allah sebelum Aku, dan tidak akan ada Allah
sesudah Aku’.” (Yesaya 43: 10)
“TUHAN adalah Raja Israel. Dia Yang Mahakuasa adalah Dia
yang akan membebaskan Israel. Dan TUHAN berkata, “Akulah satu-satunya
Allah. Tidak ada allah lain. Akulah Yang Awal dan Yang Terakhir.” (Yesaya 44:6)
“Akulah TUHAN, satu-satunya Allah. Tidak ada Allah
kecuali Aku. Aku memasang pakaian padamu, tetapi engkau masih belum
mengenal Aku. Aku melakukan ini sehingga setiap orang akan tahu, Akulah
satu-satunya Allah. Dari timur ke barat orang-orang akan tahu bahwa
Akulah TUHAN dan tidak ada Allah yang lain.” (Yesaya 45:5-6)
“Ingatlah yang terjadi dahulu. Ingatlah, Akulah Allah dan tidak ada Allah yang lain. Tidak ada yang lain seperti Aku.” (Yesaya 46:9)
- Aqidah Nabi Yesus (Isa AS)
“Yesus menjawab, ‘Hukum yang paling utama adalah: ‘Dengarkanlah, hai orang-orang Israel! Tuhan Allah kita adalah satu-satunya Tuhan’.” (Markus 12:29)
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari kehendak-Ku sendiri.
Seperti yang Aku dengar, Aku menghakimi dan penghakiman-Ku adil, sebab
Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.” (Yohanes 5:30)
“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Kristus Yesus yang telah Engkau utus.” (Yohanes 17:3)
Maka dari beberapa bukti dan kenyataan yang telah disampaikan tentang
tidak berdasarnya konsep Tritunggal tersebut, bahwa ia adalah konsep
yang terlalu dipaksakan dan diada-adakan tanpa dalil yang tegas dari
ayat-ayat Injil itu sendiri, selain juga ia justru merendahkan Dzat
Pencipta yang seharusnya diagungkan, kiranya umat Kristen dapat
mempertimbangkan tawaran kebenaran tauhid dari agama Islam. Tawaran
tersebut niscaya akan mampu mengakhiri segala keresahan yang timbul
akibat memikirkan sebuah konsep yang jika boleh disebut adalah konsep
‘Tuhan Maha Tiga’ atau ‘Tuhan Maha Sepertiga’ yang mana telah begitu
jelas bertentangan dengan ayat-ayat monotheisme atau tauhid di dalam
Injil itu sendiri, yang mana justru mengajarkan konsep ‘Tuhan Maha Esa’.
Maha Suci Tuhan dari memiliki sekutu di dalam Dzat-Nya.
Dan jika sekiranya umat Kristen bersedia menerima ajaran tauhid dalam
Islam, maka penerimaan itu pun juga tidak akan sampai menjauhkan mereka
dari sosok Yesus, melainkan akan justru menjadikan mereka lebih dekat
dan lebih menghormatinya dengan cara yang lebih disukai oleh Yesus itu
sendiri, sebagaimana ummat Islam menghormati junjungan mereka,
Rasulullah Muhammad SAW, bahkan termasuk Yesus itu sendiri serta para
nabi dan para rasul lainnya. Dan ketika umat Kristen telah mengimani
tauhid dengan benar, maka mereka pun akan pasti menghormati para nabi
dan rasul tersebut dengan penghormatan yang benar dan lebih layak,
sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Sesungguhnya, Allah adalah Dzat Pencipta yang selamanya akan bersifat
Esa atau Tunggal. Tiada satu makhluq pun yang dapat diserupakan
dengan-Nya ataupun hingga bergabung menjadi satu dengan-Nya. Maha Suci
Allah dari keyakinan yang demikian itu. Jika Allah sendiri tidak pernah
membutuhkan kelahiran seorang anak untuk membantu-Nya dalam mengurus dan
mengatur jutaan bintang dan planet-planet, bahkan galaksi-galaksi yang
tersebar di angkasa raya, maka semestinya Dia juga tak akan sampai perlu
untuk melahirkan seorang anak hanya untuk sekedar mengurus urusan
manusia di planet bumi ini yang nyatanya juga hanya berukuran jutaan
bahkan milyaran kali lipat lebih kecil dibandingkan apa yang tersebar di
alam raya tersebut. Maha Suci Allah dari memiliki seorang anak, dan
Maha Suci Dzat-Nya yang tidak pernah membutuhkan sekutu dalam
kekuasaan-Nya. Allah memang telah berkehendak untuk menciptakan segala
bentuk sebab dan perantara, namun tiada satu sebab atau satu perantara
pun yang akan pernah menjadi bagian dari diri-Nya. Dia bahkan adalah
Dzat yang terlalu suci untuk dapat dijangkau oleh alam fikiran manusia
secara seutuhnya. Maha Suci Allah SWT dengan segala kekuasaan-Nya yang
tak terbatas.
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi itulebih besar daripada
penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Mu’min/Ghaafir: 57)
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an)
kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam; yang kepunyaan-Nya sajalah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-Furqaan: 2)
Demikianlah. Dan sesungguhnya, tiada seorang pun dari umat Islam yang
tahu persis apakah usahanya akan diterima oleh Allah SWT ataukah
sebaliknya, karena memang umat Islam hanyalah ditugaskan untuk berusaha
sesuai kemampuan. Pencatatan usaha adalah tugas para malaikat, dan bukan
tugas manusia, sedangkan wewenang menerima hanyalah milik Allah SWT.
Jadi, yang sebenarnya akan dapat menyelamatkan umat Islam bukanlah
ketaatan mereka ataupun usaha mereka sendiri, dan bukan pula usaha orang
lain, melainkan Allah SWT semata dengan rahmat-Nya, melalui cara dan
rencana-Nya sendiri. Maka mungkin akan lebih tentram bagi ummat Islam
jika mereka tetap hidup sebagai manusia biasa, yang akan memang bias
salah dan akan juga bisa benar, tanpa perlu terbebani oleh tuntutan
untuk selalu benar, selama yang diperbuat bukan dimaksudkan untuk
menyebabkan kerusakan, karena memang yang selalu benar hanyalah Allah
SWT. Dan kalaupun memang ternyata ada yang salah dari usaha atau
perbuatan mereka, maka semoga Allah SWT segera memperbaiki dan
mengampuni. Niscaya dengan demikian, mereka pun akan bisa hidup tentram
karena tidak terlalu menggantungkan keselamatan mereka kepada diri
mereka sendiri.
Dan sebaiknyalah ummat Islam tetap bersyukur dan berbahagia dengan
cara masing-masing, tanpa perlu saling memaksakan karakter ataupun
kehendak satu sama lain, selama masing-masing tidak sampai menyimpang
dari aturan Islam, karena memang masing-masing dari mereka akan pasti
memiliki kelemahan dan kekurangan serta kecenderungan yang berbeda. Dan insyaa’Allaah,
dengan saling melengkapi dan memaklumi kelemahan serta kekurangan
sesame tersebut, sambil menghindari banyak prasangka, serta menjauhi
sikap membanding-bandingkan nasib, dan juga turut berbahagia dengan
kebahagiaan sesama, niscaya kedamaian dan persaudaraan di antara mereka
akan dapat tetap terjaga. Dan sesungguhnya hanya Allah SWT sajalah yang
lebih berkuasa atas diri manusia, melebihi diri manusia itu sendiri.
Hanya Dialah yang dapat melindungi kita semua dari segala bentuk
keburukan. Dan hanya dari dan milik-Nya sajalah segala kebenaran,
hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.
eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Write komentar