Dan dalam hal aqidah tersebut, setidaknya melalui makna ayat-ayat di
dalam al-Qur’an, kita akan berusaha mencari tahu tentang hakikat
penyimpangan dalam agama Kristen atau Nasrani yang mana pada asalnya
merupakan agama tauhid, juga dalam aliran Syi’ah dan Ahmadiyah yang mana
keduanya mengaku masih sebagai bagian dari agama Islam. Dan di sini
akan disinggung terutama mengenai penyimpangan aqidah mereka dalam hal
ketokohan, di mana agama Kristen begitu berlebihan dalam mengagungkan
Yesus atau Isa AS, sebagaimana Syi’ah juga berlebihan dalam mengagungkan
Imam Ali RA dan para imam mereka, demikian juga Ahmadiyah dengan sosok
Mirza Ghulam Ahmad-nya.
Meskipun memang di sana terdapat agama dan aliran lain yang
sebenarnya juga dapat disinggung, namun semoga pembahasan tiga bentuk
keyakinan tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang mewakili, dengan
izin Allah SWT. Dan semoga kesimpulan yang ada dengan kekurangannya
dapat diluruskan dan dilengkapi oleh keterangan-keterangan lain dari
sumber lainnya, hingga akhirnya dapat menjadi masukan yang membantu,
terutama bagi masing-masing penganut dari tiga keyakinan tersebut, yaitu
agama Kristen, Syi’ah dan Ahmadiyah, yang mana masing-masing penganut
tampak hidup berdampingan dengan umat Islam di tanah air kita.
- Agama Kristen dan Yesus (Isa AS)
Penyimpangan dalam agama Kristen mengenai sosok Yesus AS adalah
ketika agama ini meyakini bahwa Yesus AS adalah anak Tuhan, sekaligus
seorang Tuhan dari tiga pribadi Tuhan lainnya, yang akan harus terbunuh
di atas salib, yang mana dalam hal ini, al-Qur’an justru menjelaskan
yang sebaliknya, yaitu bahwa Yesus AS bukanlah anak Tuhan, dan bukan
pula Tuhan itu sendiri, melainkan hanya seorang nabi dan rasul, yang
telah diselamatkan oleh Allah SWT dari usaha penyaliban tersebut.
Adapun sosok yang disalib dalam peristiwa bersejarah tersebut, maka
itu bukanlah Yesus AS, melainkan konon adalah seorang murid beliau yang
diserupakan oleh Allah SWT dengan beliau, sehingga tentara Romawi yang
mencari-cari Yesus AS pun sampai mengira bahwa murid Yesus AS tersebut
adalah Yesus AS itu sendiri. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang
artinya:
“dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa (Yesus) putra Maryam, utusan Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa (Yesus) bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa
(Yesus) benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali
mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin bahwa yang mereka
bunuh itu adalah Isa (Yesus); Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa (Yesus) kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 157-158)
Demikianlah penyimpangan aqidah dalam agama Kristen tentang kedudukan
Yesus AS, khususnya kedudukan beliau dalam peristiwa penyaliban
tersebut. Adapun mengenai pengangkatan beliau ke sisi Allah SWT, maka
menurut agama Kristen, setelah beliau mati di atas tiang salib, beberapa
lama kemudian beliau dibangkitkan dari kematiannya tersebut lalu
kemudian diangkat ke langit. Jadi, dalam hal ini agama Kristen meyakini
bahwa Yesus AS diangkat ke langit dalam keadaan hidup.
Sedangkan menurut agama Islam, kita mendapati perbedaan pendapat dari
para ulama tentang keadaan Yesus AS sebelum atau ketika beliau diangkat
ke langit tersebut, di mana sebagian ulama berpendapat bahwa beliau
terlebih dahulu diwafatkan atau disampaikan kepada ajalnya lalu kemudian
diangkat ke sisi Allah SWT, sedangkan sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa beliau hanya ditidurkan lalu kemudian diangkat ke sisi
Allah SWT. Dan hanya Allah SWT sajalah yang lebih tahu tentang
hakikatnya.
Dan perbedaan pendapat di antara para ulama tersebut muncul karena memang di sana terdapat ayat lain, selain ayat 158 surat an-Nisaa’,
yang menyebutkan bahwa Allah SWT memang telah mewahyukan kepada Yesus
AS bahwa beliau akan diwafatkan sebelum diangkat oleh Allah SWT ke
sisi-Nya. Dan berikut inilah makna ayat yang menerangkan tentang hal
tersebut:
“(Ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa (Yesus), sesungguhnya Aku akan mewafatkan kamu
dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang
yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu (dalam
tauhid) di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian
hanya kepada Akulah kembali kalian, lalu Aku memutuskan di antara kalian
tentang hal-hal yang selalu kalian berselisih padanya’.” (Aali ‘Imraan: 55)
Kalimat berhuruf tebal dalam makna ayat di atas mewakili kalimat ayat yang dalam bacaan Arabnya adalah “Yaa ‘Iisaa inniy mutawaffiyka” yang mana ungkapan “mutawaffiyka” mengandung sebuah kata yang diserap dari kata kerja “tawaffaa-yatawaffaa” yang artinya “mewafatkan”, sebagaimana kata kerja tersebut juga kita dapati dalam ayat lainnya yang artinya berikut ini:
“Allah telah menciptakan kalian, kemudian mewafatkan kalian;
dan di antara kalian ada yang dikembalikan kepada umur yang paling
lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah
diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (An-Nahl: 70)
Kalimat berhuruf tebal di atas mewakili bacaan “Wallaahu khalaqakum tsumma yatawaffaakum”, yang juga mengandung kata kerja “tawaffaa-yatawaffaa” yang artinya “mewafatkan”. Dan dari kesimpulan makna kata kerja “tawaffaa-yatawaffaa”
itulah muncul kesimpulan bahwa Yesus AS memang telah diwafatkan
terlebih dahulu sebelum beliau diangkat ke sisi Allah SWT. Bahkan secara
lebih jelas lagi, wafatnya Yesus AS tersebut juga disebutkan dalam ayat
lain yang artinya berikut ini:
“Aku (Isa/Yesus) tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali
apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya, yaitu: ‘Sembahlah
Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap
mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Al-Maaidah: 117)
Demikianlah dalil yang memperjelas tentang wafatnya Yesus AS sebelum
beliau diangkat ke sisi Allah SWT. Namun tentang hakikat cara dan kapan
beliau wafat, maka hanya Allah SWT sajalah yang lebih mengetahui. Dan
bisa jadi di sana terdapat dalil yang menjelaskan tentang wafatnya
beliau tersebut secara lebih terperinci, namun memang hanya sebatas
itulah yang dapat disebutkan di sini.
Adapun kesimpulan lain yang menyebutkan bahwa Yesus AS hanya
ditidurkan sebelum atau ketika diangkat ke sisi Allah SWT, maka itu pun
juga memiliki dalil dan alasan tersendiri yang juga bisa menjadi bentuk
kemungkinan lainnya. Dan kesimpulan tersebut didasarkan pada ayat-ayat
lainnya yang juga mengandung kata kerja “tawaffaa-yatawaffaa”,
yang ternyata kata kerja tersebut digunakan untuk mewakili makna
“menidurkan”, sebagaimana ayat-ayat yang artinya berikut ini:
“Dan Dialah yang mewafatkan kalian di malam hari
dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari, kemudian
Dia membangunkan kalian pada siang hari untuk disempurnakan umur
(kalian) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kalian
kembali, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang dahulu kalian
kerjakan.” (Al-An’aam: 60)
“Allah mewafatkan jiwa (manusia) di saat kematiannya dan juga jiwa (manusia) yang belum mati di waktu tidurnya;
maka Dia menahan jiwa (manusia) yang telah Dia tetapkan kematiannya,
dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi kaum yang berpikir.” (Az-Zumar: 42)
Kalimat yang ditebalkan dari makna ayat 60 surat al-An’aam di atas mewakili kalimat ayat yang dalam bacaan Arabnya adalah “Wa huwal ladziy yatawaffaakum bil laili”, sedangkan dalam makna ayat yang berikutnya, yaitu ayat 42 surat az-Zumar, maka bacaan Arabnya adalah “Allaahu yatawaffal anfusa hiina mautihaa wal latiy lam tamut fiy manaamihaa”, yang mana kedua ayat tersebut sama-sama mempergunakan kata kerja “tawaffaa-yatawaffaa”
yang artinya “mewafatkan”. Namun, tentu makna dari kata “mewafatkan”
tersebut menjadi tampak berubah dari makna asalnya semenjak terdapat
ungkapan lain yang mengiringinya, yang mana bersama ungkapan tersebutlah
kalimat ayat menjadi diarahkan kepada makna yang baru; dan ungkapan
pengiring tersebut adalah “di malam hari” dan “yang belum mati di waktu
tidurnya”. Sehingga, seakan-akan memang ada manusia yang telah
“diwafatkan” namun nyatanya “belum mati”, yaitu ketika ia masih tidur di
malam hari.
Jadi, di sini kata “mewafatkan” akan tampak kurang tepat jika
difahami sebagai tindakan mencabut nyawa, mematikan, atau menjadikan
seseorang meninggal dunia, melainkan lebih tepat untuk difahami sesuai
konteks kalimat dalam ayatnya, yaitu bahwa ungkapan “Dan Dialah yang
‘mewafatkan’ kalian di malam hari” akan perlu diartikan sebagai “Dan
Dialah yang ‘menidurkan’ kalian di malam hari”; sebagaimana ungkapan
“Allah ‘mewafatkan’ jiwa (manusia) di saat kematiannya dan juga jiwa
(manusia) yang belum mati di waktu tidurnya” yang mana akan perlu
diartikan sebagai “Allah ‘memegang’ jiwa (manusia) di saat kematiannya
dan juga jiwa (manusia) yang belum mati di waktu tidurnya”. Dan
penerjemahan yang menggunakan ungkapan “menidurkan” dan “memegang”
semacam itu dapat kita temukan dalam terjemahan al-Qur’an secara umum
dalam Bahasa Indonesia. Dan hanya Allah SWT sajalah yang lebih tahu
tentang hakikat kebenarannya.
Dan mungkin, di sinilah kita mendapati pentingnya pembedaan antara
al-Qur’an dengan terjemahan dari al-Qur’an itu sendiri, yaitu agar
meskipun pengibaratan-pengibaratan yang ada dalam terjemahan akan
mungkin berbeda satu sama lain, namun setidaknya masing-masing memiliki
landasan yang menguatkan, yaitu landasan dari ayat-ayat al-Qur’an itu
sendiri; berbeda dengan kedudukan Kitab Injil dalam agama Kristen, yang
tampaknya memang tiada pembedaan antara mana Kitab Injil yang asli dan
mana yang sekedar terjemahan dari Kitab Injil itu sendiri.
Pada intinya, dari makna ayat-ayat al-Qur’an yang telah disebutkan di
atas, setidaknya penyimpangan aqidah dalam agama Kristen mengenai
ketokohan Yesus AS tampak semakin jelas. Dan kesimpulan pun dapat kita
ambil, bahwa Yesus AS bukanlah anak Tuhan dan bukan pula Tuhan, yang
juga tidak pernah terbunuh ataupun disalib, melainkan beliau hanyalah
seorang utusan Allah SWT yang diselamatkan dari penyaliban tersebut,
dengan cara Allah SWT menyerupakan orang lain yang akan disalib dengan
wajah dan perilaku beliau, sedangkan beliau sendiri ‘diwafatkan’ dan
diangkat oleh Allah SWT ke sisi-Nya.
Maka semoga umat Kristen dianugerahi kemudahan petunjuk untuk dapat
menempuh jalan yang lurus sebagaimana yang telah ditempuh oleh Yesus AS
itu sendiri, yaitu jalan tauhid dan Islam. Dan semoga umat Islam juga
semakin diberi kemudahan dalam memperkuat keyakinan mereka tentang akan
kembali diutusnya Yesus atau Isa AS menjelang hari kiamat, dan juga
dalam meyakini bahwa sebelum kematian beliau kelak, sesungguhnya setiap
orang dari Ahli Kitab akan menjadi beriman kepada beliau dengan iman
yang benar, yaitu meyakini bahwa beliau hanyalah seorang nabi dan utusan
Allah SWT sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW, dan bahwa hanya Islam
sajalah agama satu-satunya yang diridhai oleh Allah SWT. Allah SWT
berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti, Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisaa’: 159)
- Syi’ah dan Imam Ali RA beserta para imam lainnya
Pada dasarnya, Syi’ah terbagi menjadi beberapa sekte yang
masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri, beserta tingkat
penyimpangan masing-masing yang tampak beragam. Namun secara garis
besarnya, penyimpangan yang terjadi dalam Syi’ah adalah ketika aliran
ini mengagung-agungkan Imam Ali RA secara berlebihan, hingga sampai
mencela sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang lain, terutama Abu Bakar RA
dan Umar RA, yang mana telah lebih dahulu menjadi khalifah sebelum Ali
RA. Menurut Syi’ah, kedudukan Abu Bakar RA dan Umar RA, dan juga Utsman
RA, sebagai khalifah sebelum Imam Ali RA tidaklah bisa diterima karena
tidak sah, karena yang semestinya menjadi khalifah setelah Rasulullah
SAW adalah Ali RA, yang mana merupakan Ahlul Bait.
Di samping itu, karena terlalu berlebihan mengagung-agungkan Imam Ali
RA beserta segenap imam Ahlul Bait yang merupakan keturunan Husain bin
Ali RA, Syi’ah pun hingga mengesampingkan riwayat-riwayat hadits yang
dibawakan oleh perawi yang bukan dari Ahlul Bait, meskipun jika riwayat
tersebut terbukti kuat kedudukannya. Syi’ah cenderung hanya akan
mempergunakan riwayat-riwayat hadits dari Ahlul Bait saja. Sehingga,
dari permasalahan pilihan dan penggunaan riwayat hadits tersebut saja,
akhirnya Syi’ah pun sampai memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan
keyakinan jama’ah umat Islam.
Dan di antara perbedaan mendasar tersebut adalah di antaranya dalam
perkara rukun Islam, yang mana jama’ah umat Islam yang merupakan ahlussunnah meyakini bahwa rukun Islam itu adalah lima perkara, yaitu syahadatain
atau persaksian tauhid dan kerasulan Muhammad SAW, kemudian shalat,
zakat, puasa dan haji; sedangkan menurut Syi’ah, rukun agama yang benar
adalah shalat, puasa, zakat, haji, dan kepemimpinan (al-wilaayah). Begitu juga perbedaan dalam rukun iman, yang mana menurut ahlussunnah,
rukun iman itu adalah enam perkara, yaitu iman kepada Allah SWT, kepada
para malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya,
kepada hari akhir, dan kepada qadar, baiknya dan buruknya; sedangkan
menurut Syi’ah, rukun iman itu terdiri dari lima perkara, yaitu
pengesaan Allah SWT (at-tauhiid), kenabian(an-nubuwwah), keimaman (al-imaamah), keadilan (al-‘adlu), dan hari kebangkitan (al-ma’aad).
Dan di antara nilai-nilai mendasar tersebut yang secara jelas memisahkan Syi’ah dari ahlussunnah adalah perkara al-wilaayah, yang mana al-wilaayah adalah ibarat pondasi yang mendasari segala bentuk kepemimpinan dalam agama, baik itu kenabian (an-nubuwwah), keimaman (al-imaamah), ataupun hingga keulamaan. Dan iman terhadap keimaman (al-imaamah)
itulah yang menjadikan Syi’ah begitu menghormati para imam mereka
secara berlebihan, sampai menganggap imam mereka tersebut sebagai
manusia pilihan Tuhan layaknya para nabi. Mereka menganggap bahwa para
imam mereka tersebut adalah orang-orang yang suci dan terjaga (ma’shuum)
dari kesalahan dan dosa sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW. Dan mereka
menyandarkan keyakinan mereka tersebut kepada dalil al-Qur’an yang
artinya berikut ini:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.” (al-Ahzaab: 33)
Dalam hal ini, Islam memang tidak memungkiri kebenaran dalil ayat
al-Qur’an tersebut, meskipun di sana juga terdapat perbedaan pendapat
tentang siapa saja yang dimaksud sebagai Ahlul Bait tersebut, namun yang
menjadi masalah adalah ketika dalil tersebut lantas menjadikan Syi’ah
tidak menghormati para sahabat Rasulullah SAW yang lainnya, hingga
bahkan sampai mencela atau mengkafirkan mereka. Dan penyimpangan semacam
itu tak lain adalah karena kepemimpinan (al-wilaayah) dan keimaman (al-imaamah)
telah dijadikan rukun agama dan rukun iman oleh mereka, sementara Islam
sendiri juga memiliki rukun agama dan rukun iman yang tersendiri.
Oleh karena itu, jika memang Syi’ah mengaku sebagai bagian dari
Islam, semestinyalah mereka menghindari tindakan mencela para sahabat
Rasulullah SAW yang lain, serta agar meyakini rukun Islam dan rukun iman
yang sebenarnya, karena pada kenyataannya, ajaran Syi’ah yang diyakini
oleh penganutnya memang jelas berbeda jauh dari ajaran Islam. Penganut
Syi’ah adalah para pengagung Imam Ali RA dan para imam Ahlul Bait
lainnya secara berlebihan, sedangkan umat Islam adalah para pengikut
Rasulullah Muhammad SAW, yang tidak membeda-bedakan antara keempat
khalifah setelah Rasulullah Muhammad SAW tersebut.
Bahkan, menurut dalil al-Qur’an, sosok Abu Bakar RA yang merupakan
salah satu dari orang-orang yang dicela oleh Syi’ah tersebut justru
digambarkan sebagai seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah
Muhammad SAW. Peran kesahabatan dan kedekatan Abu Bakar RA dengan
Rasulullah SAW tersebut diabadikan di dalam sebuah ayat yang artinya
berikut ini:
“Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya
Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin
Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia (adalah) salah seorang
dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia (Muhammad) berkata kepada temannya (Abu Bakar): “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya
dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan
orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 40)
Dari makna ayat tersebut, setidaknya kita dapat memahami wujud
kedekatan Abu Bakar RA dengan Rasulullah Muhammad SAW, di mana beliau
telah menyertai Rasulullah SAW dalam keadaan yang cukup sulit dan
mengkhawatirkan, di mana nyawa menjadi terasa dekat dengan ajalnya,
sehingga, dari sini sangatlah tidak bisa diterima jika hanya berdasarkan
‘kesucian’ Imam Syi’ah yang merupakan Ahlul Bait, sosok Abu Bakar RA
yang justru dimuliakan di dalam ayat Al-Qur’an tersebut bahkan sampai
dicela dan dihina. Padahal, tentunya yang lebih harus dipercayai oleh
umat Islam adalah kalimat Allah SWT di dalam al-Qur’an daripada kalimat
makhluq-Nya yang justru menyelisihi ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu, jika memang penganut Syi’ah mengaku sebagai umat
Islam, semestinyalah mereka menerima bukti kebenaran Islam meskipun itu
berasal dari umat Islam yang bukan Ahlul Bait. Semestinyalah mereka
mempertimbangkan riwayat-riwayat hadits yang berasal dari para perawi
lainnya selama riwayat tersebut terbukti kuat kedudukannya. Dan
seharusnyalah mereka tidak cenderung mengkultuskan para Imam mereka.
Jika memang Syi’ah menganggap para imam mereka sebagai orang-orang yang
suci dari kesalahan dan dosa, maka itu memang berarti bahwa para Imam
mereka tersebut adalah jauh lebih baik daripada para Imam Madzhab umat
Islam, karena justru para Imam Madzhab umat Islam itu sendiri juga telah
mengakui potensi kesalahan yang ada dalam diri mereka, hingga mereka
pun sampai melarang umat Islam untuk mengikuti kesimpulan-kesimpulan
mereka jika memang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Keempat Imam Madzhab yang terkemuka dalam Islam tidak pernah sampai
mewajibkan umat Islam untuk bersikap fanatik terhadap salah satu di
antara mereka, hingga misalnya sampai terjadi saling menyalahkan madzhab
satu sama lain di antara umat Islam, hanya karena fanatisme madzhab
tersebut. Karena memang dalam perkara cabang agama (furuu’)
yang mana masih dalam lingkup al-Qur’an dan as-Sunnah, keragaman
pendapat di antara umat Islam itu masih dapat dimaklumi; berbeda jika
perkaranya sudah jelas keluar dari lingkup al-Qur’an dan as-Sunnah
tersebut. Dan meskipun kita umat Islam yang awam mengikuti pendapat para
Imam Madzhab tersebut dalam perkara agama, kita tetap tidak pernah
dibenarkan untuk sampai mengkultuskan mereka.
Adapun dalam Syi’ah, maka pegkultusan terhadap para Imam Syi’ah
tersebut memang tampak sudah menjadi bagian dari aqidah mereka, di mana
siapapun yang tidak mengakui kepemimpinan sang imam dan tidak mengikuti
perkataannya, maka ia akan dianggap sebagai orang yang keluar dari
agama, karena memang keimaman (al-imaamah) adalah satu di
antara rukun iman mereka. Dan inilah salah satu bentuk penyimpangan
dalam Syi’ah, yaitu sikap menghormati tokoh-tokoh mereka secara
berlebihan, di samping sebenarnya juga masih terdapat beberapa bentuk
penyimpangan lainnya, seperti nikah kontrak (mut’ah), tradisi melukai fisik sendiri untuk mengenang peristiwa Karbala, dan yang lainnya.
Maka semoga umat Islam senantiasa dilindungi oleh Allah SWT dari
penyimpangan aqidah Syi’ah semacam itu, dan semoga kaum Syi’ah juga
memperoleh anugerah petunjuk untuk kembali kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah, meninggalkan pengkultusan mereka terhadap para imam mereka.
- Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad
Adapun penyimpangan aqidah dalam aliran Ahmadiyah, maka itu adalah
ketika aliran ini meyakini bahwa sosok Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang
nabi, bahkan sampai meyakininya sebagai al-Masih yang menggantikan Nabi
Isa AS, juga sebagai Krishna yang dinanti-nantikan oleh umat Hindu,
atau sebagai Imam al-Mahdi bagi umat Islam yang merupakan jelmaan dari
Rasulullah Muhammad SAW.
Sebagian sumber ada yang memang menyebutkan bahwa Ahmadiyah itu
terpecah menjadi dua kelompok, di mana kelompok pertama hanyalah
merupakan gerakan keislaman sebagaimana organisasi berbasis Islam pada
umumnya, yang tidak sampai menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang
nabi, melainkan hanya menganggapnya sebagai tokoh Islam yang juga
mengamalkan ajaran Islam sesuai tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Muhammad SAW; sedangkan kelompok kedua, maka inilah yang merupakan
aliran keyakinan, yang menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang
nabi, al-Masih, sekaligus Imam al-Mahdi. Sehingga, konon tidak semua
yang disebut sebagai pengikut Ahmadiyah itu menyimpang dari Islam.
Namun bagaimanapun juga, dari beberapa keterangan yang ada, secara
jelas memang Ahmadiyah lebih cenderung bergerak sebagai sebuah aliran
keyakinan, yang mengesahkan sosok Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang
nabi, al-Masih, sekaligus Imam al-Mahdi bagi umat Islam, dan bahkan bagi
seluruh umat manusia. Dan keyakinan itu pun telah diungkapkan sendiri
oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mana merupakan pendiri dari Ahmadiyah,
sebagaimana terdapat dalam kitab Tadzkirah Ahmadiyah. Dan di situlah
salah satu titik penyimpangan yang memisahkan Ahmadiyah dari Islam.
Menurut al-Qur’an, satu-satunya nabi penutup di akhir zaman, yang
mana tiada nabi baru setelahnya, tak lain hanyalah Nabi Muhammad SAW,
putra dari Abdullah dan Aminah. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an
yang artinya berikut ini:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kalian, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzaab: 40)
Selain itu, menurut al-Qur’an juga, Nabi Isa AS tidaklah akan sampai
digantikan oleh siapapun menjelang hari kiamat kelak, melainkan beliau
sendirilah yang akan diturunkan oleh Allah SWT ke bumi. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi Isa AS memang telah diwafatkan
oleh Allah SWT, namun itu bukan berarti bahwa beliau telah mati hingga
tak akan diutus kembali, karena Allah SWT sendiri telah menjanjikan
bahwa sebelum kematian beliau kelak, orang-orang dari Ahli Kitab akan
beriman kepada beliau dengan iman yang benar sesuai ajaran Islam.
Dari sini, kiranya keterangan tentang penyimpangan Ahmadiyah tersebut
menjadi masukan yang membantu bagi para penganut Ahmadiyah itu sendiri,
agar setidaknya mereka mengakui bahwa ajaran Mirza Ghulam Ahmad
tersebut memang telah menyimpang jauh dan keluar dari Islam. Maka jika
para penganut Ahmadiyah masih ingin mengaku sebagai umat Islam,
seharusnyalah mereka meninggalkan ajaran-ajaran menyimpang dari
Ahmadiyah tersebut, untuk lebih sepenuhnya mengikuti ajaran dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam. Dan
semoga Allah SWT menganugerahi kemudahan petunjuk bagi para penganut
Ahmadiyah untuk kembali kepada Islam.
Dan demikianlah beberapa bentuk penyimpangan aqidah dalam hal
ketokohan. Baik umat Kristen, Syi’ah, Ahmadiyah, ataupun beragam
kelompok keyakinan lainnya di luar Islam, jika masing-masing dianugerahi
kemudahan oleh Allah SWT untuk dapat beralih pedoman dari ajaran
keyakinan mereka kepada ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana umat
Islam telah berpedoman kepada keduanya, maka mereka pun akan dapat
menemukan petunjuk yang lurus, insyaa’Allaah. Maka semoga Allah
SWT semakin melimpahkan hidayah-Nya atas umat non-Muslim hingga mereka
menjadi cenderung kepada agama-Nya ini, sampai mereka beriman dan
menjadi bagian dari umat Islam.
Demikianlah. Dan sesungguhnya, segala bentuk nikmat yang ada dalam
diri manusia, baik yang disadari maupun yang tidak, baik berupa
kesehatan, kemudahan, kemampuan, materi, pengetahuan, bahkan hidayah
iman dan Islam sekalipun, semuanya hanyalah pemberian dari Allah SWT
semata, dan selamanya bukan semata-mata hasil dari jerih payah manusia
itu sendiri. Tiada yang benar-benar patut untuk diakui sebagai milik
sendiri, karena memang semuanya hanyalah anugerah dan milik Allah SWT
semata. Dan sesungguhnya hanya hidayah iman dan Islam sajalah yang
merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia.
Maka semestinyalah kita umat Islam yang telah diberi anugerah
tersebut selalu berusaha untuk mensyukurinya, dengan cara bersama-sama
menjaga perdamaian dan saling mengingatkan satu sama lain dengan cara
yang baik semampunya, sambil berusaha menghindari potensi perpecahan dan
perselisihan, karena sesungguhnya maslahat perdamaian di antara umat
Islam itu jauh lebih penting daripada mempermasalahkan perkara yang
sebenarnya masih dimaklumi oleh agama, seperti perbedaan pendapat dalam
hal cabang agama (furuu’), yang sebenarnya sangat disayangkan
jika perbedaan pendapat dalam hal semacam itu harus mengakibatkan
tindakan saling cela dan saling merendahkan antara sesama umat Islam.
Sesungguhnya perdamaian di antara orang-orang beriman itu
diperintahkan oleh Allah SWT, sedangkan berbantah-bantahan dalam hal
yang dimaklumi agama itu justru dibenci oleh-Nya. Adapun memperbaiki
penyimpangan atau kesalahan, maka itupun diharuskan dengan cara yang
tidak salah pula, sesuai kemampuan masing-masing. Dan jikapun memang
kita pernah terlanjur salah, maka kita bisa berusaha untuk tidak
mengulanginya lagi, karena memang tiada manusia yang tidak pernah
memiliki kesalahan.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujuraat: 10)
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar (melawan
musuh) dan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfaal: 46)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)
Dan sesungguhnya, tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan dirinya
sendiri dari keburukan, baik keburukan batinnya sendiri maupun keburukan
dari luar dirinya, melainkan Allah SWT sajalah yang berkuasa
menyelamatkan siapapun yang Dia dikehendaki. Karena bagaimanapun juga,
semua manusia adalah makhluq yang lemah, yang masing-masing pasti
dianugerahi ketidakmampuan oleh Allah SWT dalam hal tertentu, yang mana
itulah bentuk keterbatasan mereka, agar dengan demikian mereka menjadi
bergantung kepada pertolongan Allah SWT. Dan keterbatasan masing-masing
itu jugalah yang akan mengharuskan mereka saling melengkapi satu sama
lain. Maka semoga kita dapat memaklumi keterbatasan dan kekurangan
sesama, sambil mensyukuri keadaan masing-masing. Dan hanya dengan
menyerah dan berserah diri kepada Allah SWT sajalah hati umat Islam
dapat menjadi tenang dan tentram, karena memang hanya dari dan milik-Nya
sajalah hakikat segala pertolongan, kekuatan, hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.
eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Write komentar