
Oleh: Suhadi
Perintis, pelopor dan pembuka pertama 
penyiaran serta pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para 
ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang populer dengan sebuatan 
Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan 
Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam 
menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas 
penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang 
adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) 
dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah 
masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN 
TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang 
dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat
 (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama 
sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan 
animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat 
aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang 
bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran
 dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM
 PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran 
yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan
 Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka 
membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat 
upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang 
penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh 
menyimpang dari syari'at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha 
agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai 
keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih 
banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang "radikal". aliran 
ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan 
syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran 
Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat 
dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara 
pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara 
menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek 
moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian 
yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna  adalah upacara khusus untuk 
orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat 
bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. 
Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai 
sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre 
Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada 
suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, 
yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, 
binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain
 sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh 
tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 
100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah 
keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan 
upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk
 memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi 
manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali 
dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk 
kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya 
diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan 
lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan
 bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar 
permohonannya dikabulkan.*1
Musyawarah Para Wali*2
Pada masa para wali dibawah pimpinan 
Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk 
memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam 
musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban 
mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit 
dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur 
keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang 
serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara 
kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran 
Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang 
penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu 
itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan 
sebagai berikut :
"Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian 
hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran 
Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan 
menjadikan bid'ah"?.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
"Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga"
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan 
Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota 
musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan
 sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan 
hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre 
Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian 
dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan 
nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka 
bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi 
keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut 
berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga 
sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang 
sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari 
hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran klenik/aliran kepercayaan yang 
berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut "Manunggaling Kaula Gusti" 
yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk 
mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain 
sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil 
dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar 
dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai 
sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali 
meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para 
Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya
 dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari'at Islam yang murni 
mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena
 raja-raja Islam  mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat 
pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar 
terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, 
dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha 
mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan 
dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. 
Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, 
maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang 
Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh 
Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap 
Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan 
VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri 
dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. 
Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang 
konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama 
yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan 
masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang 
melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna 
dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan 
berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis
 adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. 
Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. 
Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam
 dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah 
memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri 
berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, 
dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam
 hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja 
berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, 
dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan 
fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat 
yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan
 beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang 
ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk
 membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai 
keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, 
yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang 
terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, 
nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia 
bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul 
Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan 
suatu keputusan yang antara lain :
"Setiap acara yang bersifat keagamaan 
harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita
 kenal sekarang di masyarakat".
Keputusan ini nampaknya benar-benar 
dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan
 diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat 
itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai 
keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan 
dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian 
hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak 
ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa
 saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan 
negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal 
upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya
 tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak 
akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan 
kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara 
tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang
 Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau
 kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam 
justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah bagi kita Sunnah 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yg sudah jelas terang benderang
 saja yang kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ada. 
Mereka beranggapan ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masih
 kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah 
lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk 
menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang
 Islam yang konsekwen terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ada satu hal yang perlu kita jaga 
baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang 
matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti
 ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad Shallallahu 
'Alaihi wa Sallam  dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia
 selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau 
semua.
Na'udzu billahi mindzalik
Daftar Literatur
1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma'arif Bandung 1979
2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI'UTS TSAANI
1345 H/21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA
PENTAKZIAH
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI'UTS TSAANI
1345 H/21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA
PENTAKZIAH
TANYA : 
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan 
kepada mereka yang datang berta'ziah pada hari wafatnya atau hari-hari 
berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah 
keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari 
ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul 
bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut 
tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I'anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
"MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang 
yang sengaja dihimpun untuk berta'ziyah dan membuatkan makanan bagi 
mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al 
Bajali yang berkata: "kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) 
mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, 
itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG)."
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
"Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita.
Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian 
dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para 
penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA 
KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN,
 DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang 
dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke 
rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta'ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan 
kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya 
akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka 
melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) 
akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu 
masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau 
sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah
 bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari
 kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus
 dilaksanakan seperti "wajib", bagaimana hukumnya."
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang 
ditanyakan di atas termasuk BID'AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai 
haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan 
pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk "meratapi" atau 
memuji secara berlebihan (rastsa').
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal 
"OCEHAN" ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan 
menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, 
dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia 
tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian,
 diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi 
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  terhadap seseorang yang batal (karena 
hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan 
hidungnya keluar darah)
Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar 
kebiasaan masyarakat. Tirkah tidak boleh diambil/dikurangi seperti kasus
 di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan 
jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah
 pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu 
digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI'UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
Tidak ada komentar:
Write komentar