
Disadari atau tidak, ajaran Islam di 
Indonesia sesungguhnya telah tersisipi ritual-ritual yang tidak pernah 
diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan juga 
tidak diamanatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur'an. Jika 
ritual-ritual itu tetap dikerjakan, umat Islam yang melakukannya bukan 
hanya telah melakukan bid'ah, tapi juga telah musyrik karena dalam 
ritual-ritual tersebut terdapat unsur penyembahan kepada selain Allah 
Subhanahu wa Ta'ala.
Hingga kini kapan persisnya Islam masuk 
ke Indonesia, masih menjadi bahan perdebatan karena ada ahli sejarah 
yang mengatakan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad ke-7, namun ada 
juga yang mengatakan pada ke-11 atau abad ke-13. Ahli sejarah yang 
menyatakan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad ke-7 di antaranya 
merujuk pada sebuah kabar dari Kerjaan Dinasti Tang, kerajaan yang 
berkuasa di China pada abad itu, yang menyebutkan bahwa pada abad dimana
 kerajaan mereka berdiri, telah ada pemukiman pedagang muslim dari Arab 
di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.
Selain
 itu, dalam buku Preliminary Statemate on General Theory of Islamization
 of Malaya-Indonesian Archipelago (1969), Prof. Sayed Naguib Al Attas 
mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan 
Malaya-Indonesia pada 672 M. Dan dalam buku The Preaching of Islam a 
History of The Propagation of The Moslem Faith, T.W. Arnold menegaskan 
bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 
M).
Makam Fatimah binti Maimun
Mereka yang percaya bahwa Islam memasuki
 Indonesia pada abad 11 karena merujuk pada penemuan sebuah makam 
berukuran lumayan panjang di daerah Leran Manyar, Gresik. Makam tersebut
 milik Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Makam ini memiliki prasati
 bertuliskan huruf Arab Riq'ah yang berangka tahun 1082 jika di-tahun 
Masehi-kan.
Mereka yang percaya bahwa Islam masuk 
Indonesia pada Abad Ke-13 antara lain merujuk pada catatan perjalanan 
Marcopolo yang menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam 
Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh pada 1292 M. Selain itu, berdasarkan
 Berita China, K.F.H. van Langen menyebutkan tentang adanya kerajaan 
Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
Yang lebih tegas menyatakan bahwa Islam 
masuk Indonesia pada abad ke-13 adalah J.P. Moquette. Dalam buku De 
Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit 
hindoesten, ia tegas menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
 ke 13. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern, C. Snouck Hurgronje, 
dan Schrieke juga lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke 
Indonesia pada abad ke-13.
Namun, meski kapan masuknya Islam ke 
Indonesia masih menjadi perdebatan, para pakar itu cenderung berpendapat
 sama dalam satu hal, yakni tentang pembawanya. Mereka yakin dan percaya
 bahwa Islam memasuki Nusantara karena dibawa oleh para pedagang, 
khususnya pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat (India) yang beragama 
Islam.
Kapal Dagang Asing Merapat di Bandar.
Sebagai
 negara dengan letak geografis yang strategis bagi arus lalu lintas 
perdagangan dunia, Indonesia memang tak hanya dijadikan sebagai salah 
satu tempat pemasaran produk dan hasil bumi bagi negara-negara lain, 
namun juga sebagai tempat persinggahan sebelum meneruskan perjalanan ke 
negeri tujuan, seperti pedagang Arab yang hendak menuju China. Bahkan 
seiring dengan berjalannya waktu, tak sedikit pengusaha asing yang 
akhirnya membuka usaha dan tinggal di Indonesia, termasuk membuka usaha 
perkapalan.
Bandar-bandar yang menjadi tempat 
berlabuh kapal-kapal pedagang asing di antaranya adalah bandara-bandar 
di sepanjang pesisir Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. 
Interaksi antara penduduk dan pedagang setempat dengan para pedagang 
asing itu pada akhirnya mempengaruhi sikap, perilaku, budaya dan agama 
yang dianut penduduk dan pedagang di sekitar bandar. Apalagi karena 
seiring berjalannya waktu, pedagang dari bangsa tertentu membangun 
perkampungannya sendiri, seperti perkampungan orang Portugis, Benggalu 
China, Gujarat, Arab, dan Pegu di Aceh. Tentu saja, pembangunan 
perkampungan-perkampungan tersebut atas seizin penguasa kota setempat.
Lebih jauh lagi, pesatnya perdagangan di
 bandar-bandar membuat bandar-bandar itu tumbuh menjadi sebuah kota yang
 maju, dan menjadi sebuah kerajaan atau kesultanan (kerajaan berasaskan 
Islam), seperti Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Perlak, Kesultanan 
Cirebon, Kesultanan Demak, Kerajaan Palembang, Kerajaan Banten, Jepara, 
Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Jika sejarah 
masuknya Islam ke Indonesia dipetakan, diketahui kalau Islam masuk Pulau
 Sumatera melalui Perlak dan kemudian Samudra Pasai.
Di Pulau Jawa, Islam masuk melalui 
pesisir utara Pulau Jawa yang ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah
 binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082
 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, 
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di 
Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim 
dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau
 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan makam 
Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam
 ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Kampung Muslim di Palembang.
Di
 Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan
 Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu Sungai 
Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno. 
Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka
 (1418 M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan 
berasal dari Majapahit karena bentuk makam bergaya Majapahit dan 
berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui 
Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama dari Minangkabau
 yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di 
Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan 
oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak. Di Kalimantan 
Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di 
Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Di
 Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal 
masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut 
catatan tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng Matoaya,
 raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun 
penyiar agama Islam di daerah ini berasal antara lain dari Demak, Tuban,
 Gresik, Minangkabau, bahkan dari Campa. Di Maluku, Islam masuk melalui 
bagian utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diperkirakan 
Islam di daerah ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh 
Amin, Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.
Dalam menyebarkan Islam, para pedagang 
dari Arab, Persia dan Gujarat ada yang bertindak sebagai mubaligh. 
Sayangnya, ketika mubligh yang sesungguhnya kemudian datang, pola dakwah
 yang diterapkan menggunakan pendekatan sosial budaya yang tidak 
menghilangkan budaya setempat, meski budaya itu tidak sesuai dengan 
ajaran Islam (akulturasi). Tak pelak, ajaran Islam di Indonesia pun tak 
sesuai yang dibawa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam karena 
disisipi ritual-ritual penyembahan kepada selain Allah.
Sejarah mencatat, hingga abad ke-13, 
perkembangan Islam di Indonesia belum signifikan karena masih terbatas 
di kalangan penduduk yang bermukim di wilayah-wilayah pesisir yang 
berdekatan dengan bandar-bandar. Di wilayah-wilayah pedalaman dan yang 
jauh dari bandar, penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan 
Sumatera, menganut agama Hindu dan Buddha yang masuk lebih dahulu ke 
Indonesia karena dibawa oleh para pedagang dari India dan musafir dari 
Tiongkok penganut kedua agama tersebut. Bahkan pada abad ke-4, di Jawa 
Barat telah berdiri kerajaan bercorak Hindu-Buddha, yakni kerajaan 
Tarumanagara yang kemudian, setelah melalui berbagai pergolakan, menjadi
 Kerajaan Sunda yang runtuh pada abad ke-16 (lebih detil,  KLIK DARI SINI).
Selain kedua kerajaan tersebut, pada 
abad ke-7 Indonesia memiliki kerajaan berasaskan agama Buddha yang amat 
besar yang berdiri di Sumatera dan beribukota di Palembang. Namanya 
Sriwijaya. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang amat luas, 
hingga Jawa Tengah dan Kamboja. Kerajaan ini runtuh pada abad ke-14.
Di
 penghujung abad ke-13 atau menjelang keruntuhan Sriwijaya, tepatnya 
pada 1293 M, di Jawa Timur berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu yang 
kemudian dicatat sejarah termasuk salah satu kerajaan terbesar di 
Indonesia; Majapahit, dengan Mahapatihnya yang amat terkenal; Gajah 
Mada. Wilayah kekuasaan kerajaan ini lebih luas lagi, karena mencakup 
sebagian besar wilayah Nusantara dan hampir seluruh wilayah di 
Semenanjung Melayu. Majapahit runtuh pada awal abad ke-16 atau pada 1500
 M.
Tokoh penyebar agama Hindu yang paling 
terkenal adalah Maha Resi Agastya yang di Pulau Jawa dikenal dengan 
sebutan Batara Guru atau Dwipayana. Sedang penyebar agama Buddha di 
Indonesia adalah para musafir Buddha Pahiyen.
Penyebaran Islam di Indonesia mulai 
meluas setelah Sultan Mehmed I Celebi, salah seorang sultan dalam 
Kekaisaran Ottoman di Turki, menaruh perhatian pada penyebaran Islam di 
Indonesia. Sultan yang berkuasa pada 1431-1421 M ini pernah 
bercakap-cakap dengan para pedagang dari Gujarat yang singgah di 
negerinya, tentang penyebaran Islam di negeri kepulauan ini. Dari para 
pedagang tersebut, Sultan mengetahui bahwa di Pulau Jawa telah ada 
penduduk yang beragam Islam, namun di pulau ini berkuasa dua kerajaan 
berasaskan agama Hindu dan Buddha, yakni Majapahit dan Pajajaran (soal 
Pajajaran,  KLIK MULAI DARI SINI),
 sehingga Islam hanya menyebar di kalangan keluarga pedagang dari 
Gujarat, Arab dan Persia yang menikahi penduduk pribumi, dan penduduk 
yang tinggal di sekitar pelabuhan-pelabuhan.
Informasi
 para pedagang dari Gujarat ini menggugah Mehmed untuk berbuat sesuatu 
demi syiar Islam. Ia lalu mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika
 Utara dan Timur Tengah  yang isinya meminta agar para ulama di kedua 
kawasan itu yang mempunyai karomah, dikirim ke Pulau Jawa. Maka 
terkumpullah sembilan ulama sesuai yang diminta Mehmed, yang menjadi 
cikal bakal munculnya istilah atau sebutan Walisongo atau Walisanga di 
kalangan masyarakat Jawa.
Seperti tersirat dari artikel Wikipedia 
yang mengutip tulisan KH. Mohammad Dahlan dalam buku Haul Sunan Ampel 
Ke-555, sebutan atau pemahaman penduduk Pulau Jawa tentang Walisongo 
atau Walisanga sebenarnya keliru alias salah kaprah, karena yang disebut
 Walisongo atau Walisanga sebenarnya sebuah majelis dakwah yang terdiri 
dari beberapa angkatan. Para tokoh yang masuk dalam sebutan Walisongo 
pun sebenarnya tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun 
mempunyai ikatan kekeluargaan karena sedarah atau karena ikatan yang 
timbul akibat pernikahan, serta karena hubungan guru-murid. Maka, bila 
ada seorang anggota majelis yang wafat, posisinya digantikan oleh tokoh 
yang lain.
Angkatan pertama "Walisongo" berangkat ke Pulau Jawa pada 808 Hijrah atau 1404 Masehi. Mereka adalah:
- Maulana Malik Ibrahim dari Turki. Dia seorang ahli mengatur negara. Dialah yang kita kenal dengan sebutan atau Sunan Gresik. Wilayah dakwahnya di Jawa bagian timur, dan wafat di Gresik pada 1419 M. Makamnya terletak 1 km dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
 - Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai, ulama ini pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
 - Syekh Jumadil Qubro dari Mesir. Dia berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Dia dimakamkan di Troloyo, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
 - Maulana Muhammad Al Maghrobi dari Maroko. Dia juga berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Dia wafat pada 1465 M dan dimakamkan di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.
 - Maulana Malik Isroil dari Turki. Dia ahli mengatur negara dan wafat pada 1435 M. Dia dimakamkan di Gunung Santri.
 - Maulana Muhammad Ali Akbar dari Persia, Iran. Ulama ini ahli di bidang pengobatan, dan wafat pada 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
 - Maulana Hasanuddin Palestina. Ulama ini berdakwah dengan berkeliling di beberapa daerah di Pulau Jawa, dan wafat pada 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
 - Maulana Alayuddin dari Palestina. Ulama ini juga berdakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah di Pulau Jawa, dan wafat pada 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
 - Syekh Subakir dari Persia. Ulama ini ahli menumbali (metode rukyah) lahan angker yang dihuni jin-jin jahat yang gemar menyesatkan manusia. Setelah para jin menyingkir, di lahan tersebut didirikan pesantren. Dia kembali ke Persia pada 1452 M setelah "membersihkan" banyak lahan di Pulau Jawa dan mendirikan pesantren. Ulama ini wafat di negerinya. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir menetap di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Di rumah sahabat/muridnya itu hingga kini dikabarkan masih tersimpan sajadah yang terbuat dari batu kuno milik sang Syekh.
 
Angkatan kedua "Walisongo" berangkat ke 
Pulau Jawa pada 1420-an. Untuk angkatan ini, yang berangkat hanya tiga 
ulama dengan tujuan menggantikan tiga ulama yang dikirimkan pada 
angkatan pertama, karena telah wafat. Ketiganya adalah Raden Ahmad Ali 
Rahmatullah yang kemudian kita kenal dengan sebutan Sunan Ampel. Ulama 
dari Champa, Muangthai (Thailand) Selatan ini menjejakkan kaki di Pulau 
Jawa pada 1421 M. Dia menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada 1419 M.
Yang kedua Sayyid Ja’far Shodiq dari 
Palestina. Ia menjejakkan kaki di Pulau Jawa pada 1436 M untuk 
menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada 1435 M. Ulama ini tinggal di 
Kudus, dan kemudian kita kenal dengan nama Sunan Kudus.
Yang terakhir atau yang ketiga adalah 
Syarif Hidayatullah atau yang kita kenal dengan sebutan Sunan Gunung 
Jati. Dia dari Palestina dan tiba di Pulau Jawa pada 1436 M. Dia dikirim
 untuk menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat pada 1435 M.
Enam "Walisongo" dari angkatan pertama 
dan 3 "Walisongo" angkatan kedua yang dikirim ke Tanah Jawa untuk 
menggantikan 3 "Walisongo" angkatan pertama yang meninggal, kemudian 
membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro 
bertugas di Jawa Timur; Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana 
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah; Syarif Hidayatullah, Maulana 
Hasanuddin dan Maulana Alayuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian 
tugas ini, maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah 
sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
Hingga di sini, dari 12 ulama yang 
dikirim Mehmed I Celebi, masyarakat Jawa baru memiliki 4 wali. 
Darimanakah yang 5 lagi? Jawabannya adalah dari tanah Jawa sendiri. 
Mereka masuk menjadi anggota Majelis Dakwah bentukan Mehmed pada 
1463-an. Mereka adalah :
Putra
 Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi 
Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Namanya Raden Paku. Dia lahir di Blambangan
 dan menjadi anggota Majelis Dakwah karena ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
 pindah ke Kerajaan Samudra Pasai. Dia lah yang kita kenal dengan 
sebutan Sunan Giri karena tinggal di sebuah daerah yang bernama Giri. 
Makamnya berada di Gresik, Jawa Timur.- Raden Said, putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban, Jawa Timur. Dia menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan gurunya, Syekh Subakir, yang kembali ke Persia. Dia kita kenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
 - Raden Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Dia menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan gurunya, Maulana Hasanuddin, yang wafat pada 1462. Dia kita kenal dengan nama Sunan Bonang.
 
Pada 1462 dan 1466, Majelis Dakwah 
mengangkat dua anggota baru untuk menggantikan Maulana Ahmad Jumadil 
Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi yang meninggal dunia. Namun 
demikian, kedua ulama yang diangkat tersebut tidak masuk dalam daftar 
Walisongo yang difahami masyarakat Pulau Jawa. Mereka adalah :
- Raden Patah, putra Raja Brawijaya dari Majapahit dan murid Sunan Ampel. Konon, pendiri Kerajaan Demak yang berkuasa pada 1500-1518 ini masih berdarah Tionghoa karena ibunya keturunan Negeri Tirai Bambu tersebut. Selain dikenal dengan nama Raden Patah, dia memiliki gelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun karena nama lain Raden Patah adalah Jin Bun.
 - Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati. Dia dipilih untuk menjadi anggota Majelis Dakwah karena menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
 
Dua Walisongo yang dikenal masyarakat 
Jawa, yang melengkapi jumlahnya menjadi sembilan, adalah Raden Umar 
Said, putra Sunan Kalijaga diangkat menjadi anggota Majelis Dakwah 
karena ada lagi anggota majelis yang meninggal dunia, dan Raden Qasim 
yang bergelar Raden Syarifuddin, putra Sunan Ampel. Raden Umar Said kita
 kenal sebagai Sunan Muria, sedang Raden Qasim adalah Sunan Drajat. 
Sayangnya, Sang Pemburu Berita belum menemukan kapan kedua ulama ini 
diangkat menjadi anggota Majelis Dakwah, namun dari beberapa referensi 
yang diperoleh diketahui kalau Sunan Drajat berdakwah dan mendirikan 
pesantren di Desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Hingga kini, soal apa dan bagaimana 
sebenarnya Walisongo memang masih menjadi perdebatan. Untuk makna kata 
misalnya, ada sejarawan yang mengatakan bahwa Walisongo berarti wali 
yang berjumlah sembilan orang, sesuai jumlah wali yang dikenal 
masyarakat Pulau Jawa. Selain itu, songo atau sanga dalam bahasa Jawa, 
berarti sembilan.
Namun demikian, ada pula pakar yang 
mengatakan kalau songo/sanga berasal dari bahasa Arab, tsana, yang 
berarti mulia. Ini relevan dengan status Majelis Dakwah yang berisi 
orang-orang mulia (para ulama). Apalagi karena dalam Majelis Dakwah 
tersebut, yang memiliki gelar sunan bukan hanya para wali yang sembilan 
itu, tapi hampir semua ulama yang pernah masuk dalam Majelis Dakwah. 
Sebagai contoh, Maulana Ishak bergelar Sunan Wali Lanang, Maulana Ahmad 
Jumadil Kubro bergelar Sunan Kubrawi, dan Maulana Muhammad Al-Maghrabi 
bergelar Sunan Maghribi. Jadi, jika mengacu pada fakta yang sebenarnya, 
jumlah wali di Pulau Jawa sebenarnya bisa lebih dari 12 orang!
Meski
 Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelum Sultan Mehmed I Celebi 
mengirimkan para ulama berkaromah ke Pulau Jawa, namun pengirimannya 
yang kemudian memunculkan "sejarah" Walisongo/Walisanga, dianggap 
sejarawan sebagai salah satu tonggak penting penyebaran Islam di 
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sayang, "sejarah emas" ini ditulis 
secara tidak lengkap, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang 
seputar cara mereka menyebarkan Islam.
Jika Anda pernah menonton film berjudul 
"Walisongo" atau membaca buku-buku tentang bagaimana para wali itu 
menyebarkan Islam dengan menerapkan strategi akulturasi, Anda akan 
melihat betapa efektifnya penyebaran Islam yang mereka lakukan, sehingga
 berkat mereka pula lah saat ini Indonesia menjadi negara dengan 
mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Bahkan mereka ikut 
memperkaya khazanah budaya bangsa dengan menciptakan Wayang Purwa.
Menurut berbagai referensi, sebelum 
memulai syiar Islam, para ulama yang dikirim Sultan Mehmed I Celebi 
terlebih dahulu mempelajari bahasa penduduk setempat agar dapat 
berkomunikasi dengan baik, dan mempelajari adat istiadat budayanya yang 
kala itu kental dipengaruhi agama Hindu dan Buddha. Selain itu, mereka 
juga mempelajari apa yang disukai dan dibutuhkan masyarakat. Dari apa 
yang mereka pelajari inilah kemudian diciptakan tembang-tembang 
keislaman berbahasa Jawa, gamelan, wayang purwa, dan sebagainya, karena 
mayoritas penduduk Pulau Jawa memang penyuka kesenian.
Namun, banyak kalangan yang 
mempertanyakan selama syiar Islam yang dilakukan, mengapa para wali itu 
tidak menjaga kemurnian ajaran Islam, sehingga tidak mengharamkan 
kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian
 keluarga, dan malah memodifikasinya menjadi acara tahlilan. Para wali 
itu bahkan memberikan nama lain untuk shalat, yakni sembahyang yang 
berasal dari kata sembah (menyembah) dan hyang (dewa). Selain itu, 
masjid kecil atau surau diberi nama langgar yang mirip dengan sanggar; 
tempat orang berkesenian.
Tak
 hanya itu, bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan 
genteng bertingkat-tingkat. Masjid Kudus bahkan dilengkapi menara dan 
gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik para calon dai, para 
wali mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan, 
mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Buddha untuk mendidik cantrik 
dan calon pemimpin agama.
Yang hingga kini masih juga menjadi 
perdebatan adalah pertikaian Walisongo dengan rekannya sendiri yang juga
 anggota Majelis Dakwah, Syekh Siti Jenar yang berujung dengan 
dibunuhnya Syekh bernama lain Syekh Lemah Abang itu, oleh para wali. 
Pasalnya, meski penghukuman terhadap Syekh Siti Jenar dianggap benar 
karena sang Syekh mengajarkan Islam yang menyimpang, namun sebagian 
orang justru mengklaim kalau apa yang diajarkan Syekh Siti Jenar justru 
merupakan ajaran Islam yang benar, yang disebarkan sang Syekh untuk 
meluruskan ajaran Islam yang disebarkan Walisongo.
Repotnya lagi, meski Walisongo 
menyiarkan Islam, hanya Sunan Bonang yang meninggalkan sebuah buku yang 
terkait dengan apa yang mereka ajarkan. Namanya Primbon Wejangan Sunan 
Bonang. Buku ini berisi ajaran tentang fikih, tauhid, dan tasawuf 
berdasarkan Ihyâ’ Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud 
al-Anthaki, dan kitab Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad 
Syamsu As, seorang peneliti Islam, ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah 
Ahlusunah wal Jamaah dengan mazhab Syafii. "Buku itu mewakili ajaran 
semua Walisongo," katanya.
Menurut
 Ustad Abdul Aziz, seorang mualaf dari kasta Brahmana, hampir semua 
ritual dalam agama Hindu, ada dalam ritual pemeluk Islam di Tanah Jawa 
hingga saat ini, kecuali ngaben (pembakaran mayat). Mulai dari saat 
seorang ibu sedang mengandung hingga melahirkan, dan setelah kematian 
anggota keluarga.
"Ini menyedihkan, karena umat Islam yang
 memiliki ajarannya sendiri, ikut-ikutan ajaran agama lain yang tidak 
diajarkan dalam agamanya. Padahal, ajaran itu dapat menjerumuskan umat 
Islam yang melakukannya dalam kemusyrikan," kata sang Ustad dalam video 
yang sempat beredar di kalangan umat Muslim.
Ustad yang semula bernama Ida Bagus Erit
 Budi Winarno dan pernah menjadi pendeta Hindu di salah satu pura di 
Tabanan, Bali, ini menyitir hadist yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab 
Al Aqdhiyah. Bunyinya; "Dari Aisyah RA: Sesungguhnya Rasulullah 
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda; "Barangsiapa melakukan suatu 
amalan, dan tidak didasarkan amalan itu dengan perintah kami, maka 
amalan itu menjadi tertolak".
Melalui hadis ini, Ustad Abdul Malik 
menegaskan, bahwa jika umat Islam melakukan amal kebaikan, termasuk 
beribadah, namun tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 
'Alaihi wa Sallam, maka amalan itu menjadi sia-sia belaka. 
Naudzubillahiminzalik.
Dalam
 Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 42, Allah mengingatkan;  "Dan janganlah
 kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu 
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya". Ayat ini dapat 
diterjemahkan sebagai perintah Allah agar umat Islam menjalankan syariat
 Islam secara murni, dan meninggalkan yang tidak diajarkan-Nya.
Dalam penjelasannya, Ustad Abdul Aziz 
menegaskan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang simpel dan tidak 
memberatkan penganutnya. Namun, masuknya tradisi Hindu dalam ajaran 
agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini 
membuat ajaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, cenderung 
menjadi sebaliknya, sehingga demi pelaksanaan tradisi yang berupa 
ritual-ritual tersebut, umat Islam menjadi tak segan-segan berutang atau
 menjual barang berharga miliknya. "Padahal melakukan sesuatu dengan 
memaksakan diri sehingga harus berutang, bukanlah hal yang baik. 
Terlebih jika pemaksaan diri itu untuk melakukan suatu kegiatan yang 
tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala," imbuhnya.
Dalam Surah Al Maidah ayat 3, Allah 
berfirman; "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan 
telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi
 agamamu".
Sebagai agama yang telah disempurnakan, 
Islam memiliki ajaran yang lebih baik dibanding agama Nasrani yang 
dibawa Nabi Isa as maupun agama-agama tauhid yang dibawa Nabi Musa, 
Daud, dan nabi-nabi sebelum mereka, karena Islam merupakan penyempurnaan
 dari agama-agama tersebut. Maka, tidak heran jika begitu banyak 
peringatan maupun ancaman Allah dalam Al Qur'an jika umat manusia tidak 
mengamalkan ajaran Islam secara benar.
Dalam
 Al Qur'an Surah Al An'am ayat 82, Allah berfirman; "Orang-orang yang 
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman 
(syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah 
orang-orang yang mendapat petunjuk". Sedang Surah Al Baqarah ayat 82, 
Allah berfirman; "Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka
 itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya".
Inilah ritual-ritual agama Hindu saat 
wanita sedang mengandung hingga setelah melahirkan yang hingga kini 
masih dilaksanakan sebagian besar umat Islam di Indonesia, khususnya di 
Pulau Jawa, yang seharusnya tidak dikerjakan.
- Sepasaran
 - Telonan
 - Tingkepan
 - Piton-piton
 - Penanaman ari-ari
 
Jika
 Anda mencari dalil pelaksanaan ritual-ritual ini dalam Al Qur'an maupun
 hadist, ritual-ritual ini takkan ada penjelasannya di sana karena 
memang bukan ajaran Islam. Namun jika Anda membuka Kitab Sama Weda Sloka
 7 pada halaman 35 milik penganut agama Hindu, maka dasar pelaksanaan 
ritual-ritual itu dengan mudah akan Anda temui.
Menurut Ustad Abdul Aziz, bunyi Kitab 
Sama Weda Sloka 7 pada halaman 35 adalah sebagai berikut: "aranyor 
nihito jataweda garbham iwet subhrto garbhi nibhi diwe diwa inayo 
jagrwabdir wiwinadhir manucyebhi ragnih". Artinya: "Di antara dua tempat
 nyala terdapat jata weda laksana, benih suci terpelihara dengan baik 
pada wanita mengandung. Agni dari hari ke hari harus dipelihara oleh 
manusia yang memelihara dengan membuat persembahan (telonan, sepasaran, 
tingkepan, selapanan, setahunan, karo tengah tahunan) kepada Tuhan".
Dalam ajaran agama Hindu, tingkepan atau
 yang kita kenal dengan ritual 7 bulanan, merupakan ritual yang paling 
disakralkan, sehingga selama ritual dilaksanakan, dibacakan doa-doa dari
 kitab-kitab suci Hindu (Wedha) agar wanita yang mengandung dan anak 
yang dikandung, diberi keselamatan. Selain itu, jika anak yang dikandung
 berjenis kelamin laki-laki, maka wajahnya akan sebagus/setampan Dewa 
Brahma. Jika perempuan, wajahnya akan secantik Dewi Saraswati. Oleh umat
 Islam, pembacaan kitab-kitab agama Hindu diganti dengan tahlilan, 
salawatan, dan pembacaan surah Yusuf jika yang dikandung berjenis 
kelamin laki-laki, dan surah Maryam jika yang dikandung berjenis kelamin
 perempuan.
Dalam kitab Upadesa, kitab umat Hindu 
yang lain, ritual tingkepan dan telonan dijelaskan secara detil di 
halaman 40. Ini lah yang dilakukan saat kedua ritual tersebut 
dikerjakan.
- Pengambean, atau ritual pemanggilan atman (urip/ruh)
 - Sambutan, atau ritual penyambutan atau pengukuhan letak atman pada si jabang bayi
 - Janganan, atau suguhan terhadap "4 saudara" yang menyertai kelahiran di jabang bayi, yaitu darah, air, barah dan ari-ari (orang Jawa menyebut ke-4 saudara ini dengan kakang kawah dan adik ari-ari, namun ada juga yang menyebutnya dengan amarah, lawwamah, suffiah dan mutmainah)
 
Saat ritual dilaksanakan, siapapun yang 
ingin menjenguk si jabang bayi yang baru dilahirkan, harus memasuki 
dapur terlebih dahulu. Cara memasuki dapur pun ada aturannya, yakni 
dengan kaki kanan dahulu.
Setelah bayi dilahirkan, inilah tradisi umat Hindu terhadap ari-ari:
- Setelah ari-ari lepas, ari-ari dibersihkan dengan air lalu dimasukkan dalam tempurung kelapa atau kendi
 - Ke dalam tempurung kelapa atau kendi dimasukkan AUM dengan tujuan agar Sang Hyang Widhi melindungi ari-ari
 - Dimasukkan wewangian sebagai persembahan 4 Saudara yang mengiringi kelahiran jabang bayi, kepada Sang Hyang Widhi
 - Ari-ari ditanam di sebelah kanan pintu rumah jika yang lahir anak laki-laki, dan di sebelah kiri pintu rumah jika yang lahir anak perempuan
 - Tempat penanaman ari-ari ditutupi sesuatu, dan jika malam hari diterangi dengan lampu atau bohlam
 - Jika bayi dimandikan, air bekas mandinya disiramkan ke tempat penanaman ari-ari
 - Jika bayi habis diberi ASI, ASI juga dicipratkan atau disiramkan ke tempat ari-ari ditanam
 - Pada pergelangan tangan atau pinggang bayi dililitkan benang pawitra. Benang ini biasanya terdiri dari jalinan tiga benang berwarna putih, merah dan hitam.
 
Ustad
 Abdul Aziz menjelaskan, umat Hindu percaya bahwa setiap ada bayi yang 
lahir ke dunia, para dewa akan menyambanginya. Namun, karena para dewa 
ini turun dari kahyangan pada malam hari dan yang lebih dulu dijenguk 
adalah ari-arinya, maka agar para dewa tidak tersasar, maka tempat 
penanaman ari-ari harus diberi penerangan sebagai penunjuk titik 
penanaman ari-ari itu.
"Benang pawitra diyakini umat Hindu 
sebagai penolak bala, sehingga bayi aman dari gangguan Dewa Assura yang 
di kalangan umat Islam di Pulau Jawa dikenal dengan nama Betoro Kolo," 
imbuhnya.
Saat bayi telah mencapai usia 1,5 tahun,
 umat Hindu menggelar ritual atonan. Dalam ritual ini, bayi dimasukkan 
dalam sangkar ayam yang terbuat dari bambu, dan ke dalam kurungan itu 
juga dimasukkan buku-buku, pinsil, dan berbagai peralatan lain dengan 
tujuan agar jika si anak telah besar, dia akan menjadi anak yang pintar,
 pintar berdandan jika perempuan, dan lain sebagainya. Ritual ini juga 
diisi dengan ritual yang disebut "Naik Tujuh Tangga" agar si anak 
memiliki langkah yang mantap dalam berjalan dan dalam meniti hidup. Di 
kalangan umat Hindu, tujuh tangga yang harus diinjak si anak dibuat dari
 tebu ireng, namun di kalangan umat Islam di Pulau Jawa, menaiki tujuh 
tangga dari tebu ireng diganti dengan menginjak tujuh kue apem.
"Dalam
 Islam, ritual yang diajarkan untuk menyambut kelahiran jabang bayi 
hanya melakukan aqeqah, yaitu pemotongan dua ekor kambing jika yang 
lahir anak laki-laki, dan satu ekor kambing jika yang lahir anak 
perempuan. Pelaksanaan aqeqah yang pas adalah tujuh hari setelah si anak
 lahir," imbuh Ustad Abdul Aziz lagi. (bersambung)
"Jikalau sekiranya penduduk 
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada 
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
 Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya," (Surah Al A'raf ayat 96).
 Ayat ini dapat menjadi bahan renungan 
bagi kita karena sebagai penduduk yang hidup di sebuah negara yang kaya 
akan hasil bumi dan sumber daya manusia (SDM), negara kita, Indonesia, 
seolah tak putus dirundung masalah, sehingga jangankan menjadi negara 
terkuat dan terkemuka di dunia, menghadapi intervensi asing pun kita tak
 mampu. Bahkan, jika pada zaman revolusi dulu kita dijajah Belanda, saat
 ini kita dijajah oleh para kapitalis yang mencengkeram
 para penguasa negara ini dengan sedemikian rupa, sehingga 
kebijakan-kebijakan yang mereka buat kerap kali tidak berpihak kepada 
masyarakat, melainkan kepada para kapitalis tersebut.
 Dalam skala makro, kacaunya negara ini juga diakibatkan budaya konsumtif
 yang melanda semua lapisan masyarakat, sehingga demi memenuhi kebutuhan
 gaya hidup modern dan gengsi, semua dihalalkan, termasuk berbohong, 
bersikap manipulatif, dan korupsi hanya demi mendapatkan uang dan hidup 
dalam kemewahan.
 Islam sebagai agama yang sempurna, 
mengharamkan perilaku buruk itu karena Islam mewajibkan penganutnya 
untuk berdiri pada yang hak, dan menjauhi yang batil. Karenanya, Islam 
memiliki ajaran yang simpel dan dapat diterapkan di semua zaman, serta 
tidak memberatkan umatnya. Namun, pengaruh dari luar Islam yang menodai 
kemurniannya, membuat agama rahmatan lil alamin ini cenderung menjadi "aneh", berbau mistik, dan ribet.
 Di beberapa daerah di Pulau Jawa, 
terdapat sejumlah ritual yang dilakukan umat Islam ketika salah seorang 
keluarganya meninggal. Yakni :
- Berobosan, dimana anggota keluarga yang ditinggalkan menerobos di bawah keranda mayat yang akan dikuburkan dari kanan ke kiri, dan kembali lagi ke kanan.
 - Ketika keranda diarak menuju tempat pemakaman, kepala keranda dimana terdapat kepala mayat, dilindungi payung.
 - Keranda "dihias" dengan rangkain bunga berwarna putih, merah dan kuning yang disebut ronje.
 - Saat keranda akan dibawa ke tempat pemakaman, keluarga melakukan saweran, yaitu menyebar campuran beras kuning, bunga, uang, dan daun andong puring ke arah keranda yang telah digotong, siap dibawa ke tempat pemakaman.
 
 Jika Anda bertanya kepada umat Islam 
pelaku ritual-ritual tersebut tentang makna ritual-ritual yang mereka 
lakukan, mereka pasti mengatakan tak tahu karena hanya meneruskan 
tradisi leluhur. Namun Ustad Abdul Aziz dapat menjelaskan, bahwa 
ritual-ritual itu merupakan ajaran dalam agama Hindu. Maknanya adalah :
- Berobosan merupakan wujud bakti (penghormatan) kepada orang yang meninggal yang telah meninggalkan dunia fana ini, dan merupakan salam kepada para dewa di nirwana yang menyambut arwah si orang yang meninggal.
 - Memayungi kepala keranda (kepala yang meninggal) memiliki makna bahwa si almarhum/almarhumah sedang meninggalkan alam mikrokosmos (alam dunia) menuju alam bumi agung. Bumi dilambangkan sebagai payung
 - Bunga putih yang dijadikan ronje merupakan lambang Dewa Brahma; bunga merah melambangkan Dewa Wishnu; dan bunga kuning melambangkan Dewa Shiwa.
 
 Dalam ajaran agama Hindu, jika keluarga
 orang yang meninggal termasuk kalangan mampu, mayat si orang yang 
meninggal langsung dibakar (ngaben). Jika dari kalangan tidak mampu, 
mayat dikubur dengan diberi kijingan.
 "Dalam salah satu hadist, Nabi 
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda; bila makam diberi kijingan, maka
 si orang yang meninggal tidak dapat bangkit dari kuburnya (pada hari 
kiamat)," jelas Ustad Abdul Aziz. Naudzubillahiminzalik.
Apa
 saja yang Anda lakukan setelah memakamkan sanak saudara atau keluarga 
Anda yang meninggal dunia? Hati-hati, sebelum melakukannya carilah dulu 
sumber rujukannya di dalam Islam agar apa yang Anda lakukan diridhai 
Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidak menjadi bid'ah.Di kalangan umat Islam dimana pun di Indonesia terdapat sebuah tradisi untuk memperingati kematian sanak saudara dan keluarganya pada hari-hari tertentu, yakni selamatan hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1.000 hari meninggalnya almarhum/almarhumah. Dalam tradisi ini, si ahli waris mengadakan tahlil dan Yasin yang dilengkapi dengan berbagai suguhan makanan serta minuman.
 Dari segi kemanusiaan, tradisi ini 
sangat memprihatinkan karena keluarga yang sedang berduka harus 
menyiapkan dan mengeluarkan dana yang tidak sedikit, sehingga jika sang ahli waris termasuk keluarga tak mampu, hal ini tentu sangat memberatkan, sehingga, lagi-lagi, berutang pun menjadi pilihan.
 Jika Anda cari dalil pelaksanaan tradisi ini dalam Al Qur'an dan hadist yang merupakan sumber rujukan umat Islam, ajaran tradisi ini takkan ada. Tapi cobalah buka sejumlah buku ajaran agama Hindu, maka ajaran untuk tradisi ini akan Anda temukan.
Ustad Abdul Aziz menjelaskan, tradisi selamatan hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1.000 ada dalam kitab Kitab Mahanarayana Upanisad, Kitab Manawa Dharmasastra Weda Smertihalaman 99, 192, dan 193, serta buku karya Ida Bedande Adi Suripto berjudul "Nilai-nilai Hindu Dalam Budaya Jawa, Serpihan yang Tertinggal".
 Ida Bedande adalah duta agama Hindu untuk Nepal, Vatikan, Roma, dan 
India. Saat ini dia menjabat sebagai sekretaris PHDI (Parisada Hindu 
Dharma Indonesia).
Tradisi selamatan pada hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1.000 juga terdapat dalam Kitab Sama Veda halaman 373 ayat 1, dalam Kitab Sama Veda Samhita, dan termasuk dalam rukun iman umat Hindu (Panca Sradha):
- Percaya adanya Sang Hyang Widhi
 - Roh leluhur
 - Karmapala
 - Smskra manitis
 - Moksa
 
Panca Sradha memiliki rukun yang disebut Panca Yajna, yang artinya lima macam selamatan. Terdiri dari :
- Dewa Yajna adalah selamatan untuk Ida Sang Hyang Widhi Yasa
 - Pritra Yajna adalah selamatan kepada leluhur yang dilaksanakan pada hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1.000
 - Manusia Yajna adalah selamatan untuk atman, biasanya selamatan pada hari kelahiran atau ulang tahun
 - Rsi Yajna, selamatan untuk almarhum para sesepuh atau orang yang dituakan. Di kalangan umat Islam disebut khaul untuk memperingati hari wafatnya ulama/kyai atau orang yang dituakan.
 
Buta Yajna,
 selamatan untuk semua makhluk, biasanya dilaksanakan dalam bentuk 
melarung sesajian atau makanan ke laut. Umat Islam di beberapa wilayah 
di Pulau Jawa biasanya melakukan ritual ini menjelang Ramadan. Ritual 
ini, menurut Ustad Abdul Aziz, bertentangan dengan Firman Allah 
Subhanahu wa Ta'ala dalam Surah Az-Zariat ayat 57 yang berarti; "Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari manusia dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberiku makanan". Juga bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surah Al-Anam ayat 14.
Dalam ajaran Islam, yang disarankan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh sanak keluarganya adalah  bersedekah
 jika memiliki kelebihan harta dengan tanpa menunggu hingga tiga hari, 
tujuh hari hingga 1.000 hari pasca wafatnya almarhum/almarhumah.  Ada 
yang mengatakan bahwa yang terbaik untuk disedekahkan adalah barang yang
 ditinggalkan almarhum/almarhumah, baik berupa pakaian, perhiasan, atau 
lainnya.
Walisongo
 merupakan majelis para ulama yang berjasa besar dalam menuntun 
mayoritas rakyat Indonesia ke dalam cahaya Islam. Kelak, di akhirat, 
hanya umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan umat para Nabi 
serta Rasul terdahulu yang mendapat tempat di surga-Nya, asalkan 
umat-umat ini melaksanakan ajaran yang dibawa para Nabi dan Rasul itu 
dengan benar dan tidak menyimpang.Tak dapat dipungkiri bahwa masuknya ajaran Hindu dalam ajaran Islam yang disebarkan Walisongo merupakan dampak dari pola akulturasi yang digunakan, sehingga tidak sedikit peneliti Islam dan mubaligh yang menilai kalau sesungguhnya dakwah yang dilakukan Walisongo masih harus diteruskan oleh para mubaligh dan ulama masa kini, agar ajaran Islam yang difahami dan dijalankan masyarakat Indonesia sesuai dengan yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Tak sulit untuk memahami mengapa 
Walisongo menggunakan pola akulturasi dalam menyebarkan ajaran Islam di 
Indonesia. Dalam buku berjudul “Nusantara: A History of Indonesia”
 yang ditulis sejarawan Belanda Bernard H. M. Vlekke, Luthfi Assyaukanie
 membuat kata pengantar yang menarik. Ia menulis begini;
"Para raja Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka dengan agama itu, tapi karena situasi politik lah yang mendorong mereka bertindak demikian. Pada abad ke-16 M, para pelaut Portugis mulai menjejakkan kakinya di pantai-pantai Jawa, sehingga para raja Jawa dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yang berarti harus memilih antara Kristen dan Islam.Melihat perilaku Portugis dan catatan kecurangan-kecurangan mereka, raja-raja Jawa kemudian memilih Islam. Agaknya bukan hanya rasa kedekatan budaya dan sejarah masa silam yang membuat mereka lebih menerima bersekutu dengan kerajaan-kerajaan Islam, tapi juga karena agama ini memberikan fleksibilitas yang tinggi ketimbang Kristen. Jika mereka masuk Kristen, bukan hanya mereka harus tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga harus mengganti tradisi mereka dengan budaya baru yang dibawa oleh orang-orang kulit putih itu..."
Dari paparan ini sangat jelas bahwa penyebaran Islam di Tanah Jawa oleh Walisongo bukanlah perkara mudah, sehingga pola akulturasi
 pun dipilih. Tentu, para Walisongo bukannya tak mengerti dampak dari 
pilihannya itu karena di antara mereka ada yang berasal dari Timur 
Tengah, kawasan dimana Islam diturunkan. Namun lebih pada strategi 
belaka agar Islam dapat disebarkan ke seluruh penjuru Bumi.
Dalam makalah berjudul "Islam dan Akulturasi Budaya Lokal", peneliti Islam Irfan Salim mengatakan; "Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal dengan pandangan hidup (weltanschaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan, serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam. Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam."
Maka jelas sudah mengapa Walisongo 
memilih akulturasi sebagai strategi menyebarkan Islam di Tanah Jawa. 
Tinggal kini bagaimana kita memahami dan mengetahui Islam yang benar 
sesuai yang dirisalahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, 
dan melaksanakannya dengan sebenar-benarnya. Tidak lagi menjadi Islam 
KTP atau orang Indonesia yang menganut ajaran Islam karena "warisan" 
keluarga atau leluhur.
Tidak ada komentar:
Write komentar