Pada tanggal 2 Januari 1492, cardinal Devider telah memasang salib di
 atas Istana Hamra; istana kerajaan Nashiriyah di Spanyol. Tujuannya 
berbuat demikian ialah sebagai bentuk proklamasi atas berakhirnya 
pemerintahan Islam di Spanyol.
Dengan berakhirnya pemerintahan Islam ini berarti saat itu lenyaplah 
peradaban besar yang pernah dikembangkan oleh Islam di eropa selama abad
 pertengahan. Kaum salib yang saat itu menang perang yang awalnya mereka
 melakukan kerjasama dengan pemerintahan Islam, beralih berusaha untuk 
menghancurkan kaum muslimin dan peradabannya.
Kaum muslimin dilarang menganut Islam, dan dipaksa untuk murtad. 
Begitu juga mereka tidak boleh menggunakan bahasa arab, siapa yang 
menentang perintah itu akan dibakar hidup hidup setelah disiksa dengan 
berbagai cara.
Beginilah
 selesai riwayat hidup berjuta juta kaum muslimin di Spanyol, tak ada 
seorang muslim yang tinggal yang tampil dengan agamanya saat itu.
Setelah empat abad dari kejatuhan Islam di Spanyol, Napoleon telah 
mengirim sepasukan tentara angkatan perang dan mengeluarkan satu 
instruksi tahun 1808 supaya menghapuskan dewan dewan mahkamah luar biasa
 (Dewan pengadilan dan pemberi hukuman) di Spanyol.
Berkata seorang panglima Prancis ; “ Kami pimpin satu angkatan 
bersenjata hendak menyelidiki satu gereja yang kami dengar disitu ada 
mahkamah luar biasa. Tapi kami disana tak menemui apapun, kami periksa 
semua kamar penyiksaan dan kami selidiki seluruh kawasan gereja, lorong 
lorong dan tabirnya, tak ada tanda tanda adanya mahkamah luar biasa. 
Hampir kami putus asa dan nyaris kami meninggalkan tempat itu. Dan saat 
itu pula ada seorang pendeta bersumpah untuk menguatkan kebenaran yang 
dikatakannya bahwa tuduhan terhadap gereja itu adalah tuduhan kosong 
belaka. Dan ketua mereka pun menegaskan bahwa pengikut pengikutnya tidak
 ada yang terlibat dengan masalah itu.
Dan
 dengan nada yang lembut dan menunduk serta linangan air matanya para 
pendeta mempersilahkan kami keluar dari situ. Tapi salah satu letnan 
kami , Letnan De lael menahan saya dengan berkata,”Maaf dan izinkan saya
 mengatakan bahwa tugas kita belum selesai”. Lantas kujawab, “Kita 
periksa sekeliling gereja ini, tapi tidak kita jumpai dengan suatu yang 
mencurigakan.” Kemudian kutanya kepada letnan,”Apa yang engkau 
maksudkan?” maka jawab letnan,” Saya mau periksa dibawah lantai kamar 
ini, sebab hati saya merasa seakan akan ada rahasia dibawahnya.”
Waktu itu para pendeta tadi terlihat sangat gelisah karena kami belum
 beranjak pergi, lantas saya izinkan para komandan untuk memeriksa, dan 
ketika itu kami perintahkan para tentara untuk menyingkap permadani di 
lantai dan diperintahkan menuangkan air sebanyak banyaknya di setiap 
kamar. Tiba tiba tampaklah pada salah satu kamar itu airnya meresap 
kebawah. Letnan De Lael bertepuk tangan tertawa sambil berkata,”Inikah 
pintunya? Lihatlah ! kami semua lihat dan ternyata ada pintu yang bisa 
dibuka.
Rupanya setiap sambungan lantai kamar itu dapat dibuka secara 
rahasia; yaitu dengan satu alat kecil yang terletak di kaki meja ketua 
gereja. Para tentara pun memulai memecahkan pintu itu dengan bayonet , 
waktu itu wajah pendeta pun menjadi pucat karena rahasia mereka pasti 
terbongkar.
Ketika pintu itu dibuka, tampaklah kepada kami satu tangga yang bisa 
turun sampai ke dasar ruangan bawah tanah. Sayapun turun dan pergi 
menghampiri satu batang lilin besar yang panjangnya lebih kurang satu 
meter. Lilin itu menyala di hadapan satu gambar besar terpampang lukisan
 bekas pimpinan ketua Mahkamah Luar Biasa itu. Saya cuma menghampiri 
saja, lalu seorang pendeta Kristen memegang bahu saya sambil 
berkata,”Hai anakku jangan kau pegang lilin itu, tangan kau kotor dengan
 darah pembunuhan, sedangkan lilin itu sangat kudus sekali.” Lalu saya 
katakan kepadanya,”Masak saya tidak boleh menyentuhnya, bukankah lilin 
ini kau basahi dengan darah orang orang baik? Nanti kita lihat siapa 
yang mengotorkan dari kalangan kita ini dan siapa yang pembunuh 
sebenarnya.”
Kemudian saya turun melalui tangga itu dan terus diikuti oleh para 
tentara dengan pedang pedang yang terhunus. Lalu sampailah kami ke suatu
 pojok, dan disitu kami lihat ada satu kamar besar bersegi empat, 
disitulah dewan mahkamah bersidang, yang ditengah tengahnya terdapat 
lantai marmer. Di tangga itulah terdapat belenggu besar yang memakai 
rantai untuk mengikat orang orang hukuman. Dan di hadapan tangga itu 
pula terletak satu podium yang diduduki oleh ketua mahkamah dan para 
hakim untuk menghukum orang orang tak berdosa itu.
Setelah itu kami menuju pula ke suatu kamar besar dan panjang yang 
rupanya adalah tempat penyiksaan. Di situ saya melihat banyak benda 
benda yang menyeramkan dan membuat bulu bergidik sepanjang hidup saya. 
Saya melihat lubang lubang kecil sebesar tubuh manusia. Ada bentuk 
sempit dan tinggi, dan ada yang sempit tapi rendah. Di dalam petak petak
 itulah dikurungnya tawanan sambil berdiri sepanjang hidup dan sampai 
meninggal di situ. Dan mayat mayat orang tawanan itu dibiarkan hancur di
 situ, berulat dan hingga gugur dagingnya dan tulang tulangnya. Dan 
untuk mengurangi bau busuk dibuatkannya sebuah lubang ke udara luar.
Saya
 lihat dalam kamar itu juga ada tubuh tubuh manusia yang masih terikat 
dengan rantai. Orang orang kurungan itu ada lelaki dan wanita dari 
berbagai tingkatan umur, antara 14 tahun hingga 70 an tahun. Ketika itu 
sempat kami bebaskan beberapa orang tawanan yang masih hidup. Kami 
pecahkan belenggu belenggunya, orang orang yang masih hidup cenderung 
sekarat, sementara yang lain ada yang sudah menjadi gila, karena terlalu
 berat siksaannya. Dan tawanan tawanan tersebut seluruhnya telanjang, 
sehingga tentara kami yang hendak mengeluarkan mereka terpaksa memberi 
kain untuk menutupi tubuhnya. Kami iringi tawanan itu perlahan lahan ke 
tempat terang agar tidak merusakkan pandangan mata mereka. Mereka teriak
 gembira dan merangkul tentara yang membebaskannya dari siksaan 
tersebut.
Kemudian kami pindah ke ruangan lainnya, dan kami lihat beberapa 
keadaan yang menyeramkan, kami lihat ada alat alat penyiksaan seperti 
alat pematah tulang dan alat pengoyak badan. Mereka dimulai dengan 
membelah kaki, dicabutnya tulang, dibelah dada dan diambilnya tulang. 
Dibelah kepala dan tangan serta diambil tulang sedikit sedikit hingga 
hancurlah semuanya. Demikianlah diperlakukan terhadap orang orang yang 
teraniaya itu.
Dan kami lihat juga satu peti sebesar kepala manusia. Disitulah 
diletakkannya kepala orang yang hendak disiksa. Dimana setelah ia diikat
 kaki, tangan dengan rantai sehingga tidak dapat bergerak. Dan diatas 
peti itu dibuatnya satu lubang untuk menetes air secara teratur ke atas 
kepala orang yang di siksa itu. Akibat siksaan jenis ini banyak orang 
menjadi gila dan dibiarkan sedemikian hingga tawanan tewas.
Satu lagi alat penyiksaan ialah satu kotak yang dipasang mata pisau 
yang tajam. Mereka campakkan orang orang muda ke dalam kotak ini, bila 
dihempaskan pintu maka terkoyaklah badan yang disiksa tersebut.
Disamping itu ada mata kail yang menusuk lidah dan tersentak keluar, 
dan ada pula yang disangkutkan ke payudara wanita, lalu ditarik dengan 
kuat sehingga payudara tersebut terkoyak dan putus karena tajamnya benda
 benda tersebut.
Nasib wanita dalam siksaan ini sama saja dengan nasib laki laki, mereka ditelanjangi dan tak terhindar dari siksaan.
Cara cara penyiksaan wanita yang lain tidaklah saya bisa gambarkan, 
karena tempat tempat sensitif ditubuh wanita yang disiksa, dan cara cara
 yang sadis dan kotor yang dilakukan membuat saya malu untuk 
menuliskannya.
Penyiksaan
 ini dilakukan terhadap orang orang yang menentang kristenisasi. Mereka 
lakukan penyiksaan tersebut karena para tawanan  tersebut tetap 
berpendirian dan tetap mengatakan bahwa mereka Muslimin.
- Petikan dari buku At Ta’asub Wat Tasamuh, Syaikh Muhammad Al Ghazali (hal 311-318)
Tidak ada komentar:
Write komentar