Senin, 30 Desember 2013

Mengapa Hati Ini Masih Merasa Iri

Posted by   on

Pernah mungkin kita mendengar kisah dua orang tetangga dekat bisa saling bunuh. Penyebabnya karena yang satu buka toko & lainnya pun ikut-ikutan. Akibat yang satu merasa tersaingi, akhirnya ada rasa iri dgn kemajuan saudaranya. Tetangga pun tak dipandang. Awalnya rasa iri dipendam di hati. Namun karena semakin hangat & memanas, akhirnya berujung pada pertikaian yang berakibat hilangnya nyawa. Sikap seperti ini pun mungkin pernah terjadi pada kita. Namun belum sampai parah sampai gontok-gontokan. Rasa iri tersebut muncul kadangkala karena persaingan. Sikap iri semacam ini jarang terjadi pada orang yang usahanya berbeda. Jarang tukang bakso iri pada tukang becak. Orang yang saling iri biasanya usahanya sama. Itulah yang biasa terjadi. Tukang bakso, yah iri pada tukang bakso sebelah. Si empunya toko sembako iri pada orang yang punya toko yang semisal, & seterusnya.
Perlu diketahui bahwa iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat, itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Hasad seperti inilah yang tercela. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
ان الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود
“Hasad adalah sekedar benci & tak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.”[1]
Adapun ingin agar semisal dgn orang lain, namun tak menginginkan nikmat pada orang lain itu hilang, maka ini tak mengapa. Hasad model kedua ini disebut ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling hasad (iri), janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi (saling mendiamkan/ menghajr). Jadilah kalian bersaudara, wahai hamba Allah.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hasad Bisa Terjadi Pada Orang Beriman
Hasad bisa saja terjadi pada orang-orang beriman. Hal ini dapat kita lihat dlm kisah Nabi Yusuf dgn suadara-saudaranya. Sampai-sampai ayah Yusuf (Ya’qub) memerintahkan pada Nabi Yusuf agar jangan menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya agar tak membuat mereka iri. Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)
Lalu lihatlah bagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf.
إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf & saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dlm kekeliruan yang nyata.”(QS. Yusuf: 8). Lihatlah bagaimana hasad pun bisa terjadi di antara orang beriman, bahkan di antara sesama saudara kandung.
Hasad (Iri) Tidak Ada Untungnya
Patut kita renungkan bersama bahwa rasa iri sebenarnya tak pernah ada untungnya sama sekali. Yang ada hanya derita di dlm hati. Orang yang hasad pada saudaranya sama saja tak suka pada ketentuan atau takdir Allah. Karena orang yang hasad tak suka atas ketentuan Allah pada saudaranya. Padahal Allah yang menakdirkan saudaranya jadi kaya, saudaranya punya kedudukan, saudaranya sukses dlm bisnis, & lainnya. Orang yang hasad sama saja menentang ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dlm kehidupan dunia, & kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf: 32). Padahal Allah yang lebih mengetahui manakah yang terbaik utk hamba-Nya.
Orang yang hasad sama saja dgn orang yang menzholimi saudaranya. Oleh karena itu, orang yang didengki (dihasad) akan mendapatkan manfaat dari orang yang hasad di akhirat kelak. Kebaikan orang yang hasad akan diberikan pada orang yang didengki (dihasad) & kejelekan orang yang didengki (dihasad) akan beralih pada orang yang hasad. Bisa terjadi seperti ini karena orang yang hasad layaknya orang yang menzholimi orang lain. Sehingga penyelesaiannya dgn jalan seperti itu. Lebih-lebih lagi jika hasad tadi diteruskan dgn perkataan, perbuatan & ghibah (menggunjing), tentu akibatnya lebih parah.[2]
Itu tadi adalah akibat di akhirat. Sedangkan di dunia, orang yang hasad pun menderitakan berbagai kerugian. Jika orang yang ia hasad terus mendapatkan nikmat, hatinya akan semakin sedih & terus seperti itu. Bulan pertama, ia hasad karena omset saudaranya meningkat 50 %, ini kesedihan pertama. Jika bulan kedua meningkat lagi, ia pun akan semakin sedih. Begitu seterusnya, orang yang hasad tak pernah mendapatkan untung, malah kesedihan yang terpendam dlm hati yang ia peroleh waktu demi waktu.
Cara Mengatasi Penyakit Hasad
Agar kita tak terjerumus dlm penyakit hati yang satu ini, maka ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan, di antaranya:
Pertama: Pertebal iman & rasa yakin pada takdir Allah, tentu saja dgn terus menambah ilmu.
Kedua: Mengingat akibat hasad yang berdampak di dunia maupun di akhirat.
Ketiga: Selalu bersyukur dgn yang sedikit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tak mensyukuri yang sedikit, maka ia tak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dlm As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Keempat: Selalu memandang orang yang di bawahnya dlm masalah dunia. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain diberi kelebihan harta & fisik [atau kenikmatan dunia lainnya], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari no. 6490 & Muslim no. 2963)
Dalam hadits lain disebutkan,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta & dunia) & janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
Kelima: Banyak mendoakan orang lain yang mendapatkan nikmat dlm kebaikan karena jika kita mendoakannya, kita akan dapat yang semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang bertugas mengaminkan do’anya kepada saudarany). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang semisal dengannya.” (HR. Muslim no. 2733)
Setelah mengetahui hal ini, masihkah ada iri pada saudara kita? Semoga Allah memberi taufik utk terhindar dari penyakit yang satu ini. Amin, Yaa  Mujibas Saailin.
Panggang-GK, 29 Jumadil Awwal 1431 H (13/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Amrodhul Qulub wa Syifauha, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1424 H
[2] Lihat penjelasan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dlm kitab Fiqhul Hasad, hal. 47, Darus Sunnah, tahun 1415 H.
sumber: www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:
Write komentar