Ahlul Kitab Menurut Al Qur'an
Oleh: Dr. Quraish Shihab
Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an
tentang suatu masalah tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi
keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang
berbicara menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan
melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan tujuan
pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan terlepas
dari konteks (munasabah) ayat, sejarah, asbab al-nuzul (latar
belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi (As-Sunnah), dan sebagainya,
yang dihimpun oleh pakar-pakar Al-Qur'an dengan istilah
pendekatan "tematis" (maudhu'i).
Bahasan ini mencoba menerapkan metode
tersebut, walaupun dalam bentuk yang terbatas - karena
penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat,
rujukan yang memadai, serta kemampuan analisis yang dalam.
Namun demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk
ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten
dalam bidang Al-Qur'an.
ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN
Salah satu keistimewaan Al-Qur'an
adalah ketelitian redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut
bersumber langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini perlu
digarisbawahi, bukan saja karena sekian banyak ulama melakukan
analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu
pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa
istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan
Nashrani, dua kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh
ulama sebagai Ahl Al-Kitab.
Selain istilah Ahl Al-Kitab,
Al-Qur'an juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal
kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan
istilah lainnya.
Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam
Al-Qur'an sebanyak tiga puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas
kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali,
Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali, dan
Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali
Kesan umum diperoleh bahwa bila
Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau
gambaran negatif tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya
tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS- Al-Maidah 5:
82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nashrani terhadap kaum
Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah 2: 120),
atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nashrani adalah
putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah 5:18), atau pernyataan
orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah
5:64), dan sebagainya.
Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina
Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap
mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan
menguranginya (QS Al-Nisa, 41:46), atau bahwa mereka tekun mendengar
(berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah
5:41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi
mereka yang beriman dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa
takut atau sedih (QS Al-Baqarah 2: 62).
Kata Nashara sama penggunaannya
dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif
dan pujian, misalnya surat Al-Maidah 5:82 yang menjelaskan tentang
mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam; dan
di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah
2:120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang
Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain
kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian,
seperti dalam surat Al-Hajj 22;17 yang membicarakan tentang putusan
Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain,
kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan
bahwa bila Al-Qur'an menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat
tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika
menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama
halnya dengan Al-Ladzina Hadu.
Agaknya ini sebabnya sehingga surat
Al-Baqarah 2:120 yang berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan
Nashara hatta tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nashrani tidak
akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti
agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap orang
Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nashrani. Menurut pakar-pakar
bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan, kata
"lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan
penafian tersebut lebih kuat dari "la" yang digunakan untuk menafikan
sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh
saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.
Ayat di atas, secara tegas menyatakan
bahwa selama seseorang itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl
Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga
umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti, menyetujui
sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.
Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan:
"Keadaan mereka dalam bersikeras
berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran,
bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan
agar diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang
dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh) persetujuan
beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah)
menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul, serta
menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang persetujuan
mereka (menganut Islam)."
Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum
(sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah:
Kinayat (kalimat yang mengandung
makna bukan sesuai bunyi teksnya) keputusasaan (tidak adanya
kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nashrani untuk memeluk Islam
ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau
Rasul) mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan
Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka
kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan
(firman-Nya): "hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf 7:40) dan
(firman-Nya), "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan
kamu bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun
109:2-3).
Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas
ditemukan kalimat "ketika itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan
tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara
tertentu ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan
menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara Ahl
Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut sama dengan
firman-Nya dalam surat Yasin 36:10:
"Sama saja bagi mereka: apakah kamu
memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman."
Yang dimaksud di sini adalah
orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi), bukan
seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian
besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam.
Arti surat Al-Baqarah 2:120 di atas perlu ditegaskan, karena sering
terjadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana
diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung
eksklusif dalam bidang agama dan orang lain cenderung enggan
menganut agamanya. Di sisi lain, seperti dikemukakan dalam
riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah 2:120 di atas
berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah,
yang ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum
Yahudi Madinah dan kaum Nashrani Najran mengharapkan agar Nabi
dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke kiblat mereka.
Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayuthi
dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul
Penafian Al-Qur'an terhadap
An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga
boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini
dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil
penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata "lan"
untuk orang Yahudi.
Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang
menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan
Al-Qur'an tentang mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat
mereka – positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh
kaum Muslim terhadap mereka.
SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB
Al-Qur'an banyak berbicara tentang
sifat dan sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan
berbicara tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam.
Surat An-Nisa, 4:171 dan Al-Ma-idah 5:77 mengisyaratkan bahwa
mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.
"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu, dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" (QS Al-Nisa, 4: 71).
Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an
sebagai telah mengkufuri ayat-ayat Allah, serta mengingkari
kebenaran (kenabian Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam).
"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?" (QS Ali 'Imran 3:70-71).
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada mereka:
Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah 5:59).
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
secara langsung dan berkali-kali mengingatkan kaum Muslim untuk
tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman
akrab atau tempat menyimpan rahasia.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang -orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim" (QS Al-Maidah 5:51).
Dalam QS Ali 'Imran 3:118 kaum Muslim
diingatkan untuk tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim
sebagai bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan
alasan bahwa:
"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran 3: 118).
Terhadap merekalah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula pada Nashrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran" (HR Muslim melalui Abu Hurairah).
Sahabat dan pembantu Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallamm, Anas bin Malik, berkata bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam buku Dalil Al-Falihin
dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memulai
ucapan salam kepada orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi
banyak juga yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi kaum
Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat dalam hal ini.
Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,
"Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Al-Anfal 8:61).
Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil
terhadap Ahl Al-Kitab siapa pun mereka, walau Yahudi - tetap
dituntut oleh Al-Qur'an. Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah cenderung mempersalahkan seorang
Yahudi yang tidak bersalah karena bersangka baik terhadap keluarga
kaum Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur oleh Allah
dengan menurunkan surat An-Nisa, 4:105.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya engkau mengadili
antar manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu. Dan
janganlah engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat."
APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?
Di atas telah dipaparkan sebagian
dari ayat-ayat yang berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan
sifat-sifat negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah
ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua Ahl Al-Kitab
kapan dan di mana pun mereka berada?"
Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah
5:59 di atas menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl
Al-Kitab), perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini. Hemat
penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa tidak semua
mereka bersikap demikian.
Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak dalam dua ayat berikut:
"Banyak dari Ahl Al Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" (QS Al-Baqarah 2:109).
Perlu diketahui bahwa ayat di atas
menggunakan kata katsir yang seharusnya diterjemahkan banyak, bukan
kebanyakan sebagaimana dalam Al-Qur'an dan Terjemahannya
oleh Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:
"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran 3:69)
Kalau melihat redaksi ayat di atas,
maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka
tidak semua mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada
peringatan yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sekelompok dari Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu beriman" (QS Ali 'Imran 3:100).
Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Al-Qur'an yang menyatakan bahwa,
"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud" (QS Ali 'Imran 3:113).
Sebelumnya dalam surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan informasi,
"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada juga yang jika kamu percayakan kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang demikian itu karena mereka berkata (berkeyakinan) bahwa tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran 3:75).
Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati sebagian Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:
"Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah belah" (QS Al-Hasyr 59:14
BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB
Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab
tidak semua sama. Karena itu sikap yang diajarkan Al-Qur'an terhadap
mereka pun berbeda, sesuai dengan sikap mereka.
Dalam sekian banyak ayat yang
menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan
sikap bersahabat, walaupun di sana-sini Al Qur'an mengakui adanya
perbedaan dalam keyakinan.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap orang-orang yang zalim di antara mereka" (QS Al-'Ankabut 29:46).
Dalam beberapa kitab tafsir – seperti
juga pada catatan kaki Al-Qur'an dan Terjemahnya Departemen Agama -
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat
diatas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan baik,
masih tetap membantah, membangkang, dan menyatakan permusuhan.
Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum
Muslim dari semua pihak termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat sawa'
(kata sepakat), dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui
kaum Muslim sebagai umat beragama Islam jangan diganggu dan
dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini Al-Qur'an
memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)" (QS Ali 'Imran 3:64).
Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa:
"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran 3:199).
Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab
yang kemudian dengan tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang
paling populer di antara mereka adalah Abdullah bin Salam.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa ketika turun firman
Allah:
"Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah 2: 146).
Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin
Salam, "Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal
anakmu?" Abdullah menjawab, "Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang
terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi,
menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku)
aku tidak tahu apa yang telah dilakukan ibunya."
AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN
Sebelum membuka lembaran ayat-ayat
Al-Qur'an perlu kiranya kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah
yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Sepuluh tahun lamanya beliau melaksanakan misi kerasulan di Makkah,
dan yang dihadapi di sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di
kota Makkah sendiri penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir
tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika itu adalah
orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Al-Qur'an sebagai
al-musyrikun.
Penindasan kaum musyrik di Makkah
terhadap kaum Muslim memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah
pertama ke Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus,
penguasa yang beragama Nashrani.
Masyarakat Madinah terdiri dari dua
kelompok besar, yaitu Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi yang
memiliki kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling
bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi perselisihan
dan permusuhan antara mereka dengan orang Yahudi. Pertempuran dan
perselisihan itu melelahkan semua pihak; sayang tidak ada di
antara mereka yang memiliki wibawa yang dapat mempersatukan
kelompok-kelompok yang bertikai ini.
Orang-orang Yahudi sering
mengemukakan kepada Aus dan Khazraj, bahwa akan datang seorang
Nabi (dari kelompok mereka), dan bila ia datang pastilah kaum
Yahudi akan mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini Al-Qur'an
menyatakan -menyangkut orang Yahudi- bahwa "Setelah datang kepada
mereka Al-Qur'an dan Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi
yang dijanjikan) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir,
maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka lalu
ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar
itu" (QS Al-Baqarah 2:89).
Yang dimaksud dengan "membenarkan apa
yang ada pada mereka" adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal
ini Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sahabat Nabi Ibnu
Abbas menjelaskan apa yang dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka
biasa memohon" adalah bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan
Arab Gathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka ketika itu
orang-orang Yahudi berdoa, "Kami bermohon kepada-Mu demi Nabi Ummi
yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami di akhir zaman
menangkanlah kami atas mereka" sehingga mereka berhasil mengalahkan
musuh-musuh mereka.
Al-Qur'an juga menginformasikan bahwa
keengganan mereka beriman disebabkan oleh karena "kedengkian dan
iri hati mereka" (QS Al-Baqarah 2: 109). Tadinya mereka menduga
bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari golongan
Arab yang merupakan seteru mereka.
Terbaca dari uraian sejarah di atas
bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani hampir tidak ada di kota
Makkah. Itu pula sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim
utusan ke Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat
diajukan kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian
kenabiannya. Ketika itu orang-orang Yahudi Madinah menyarankan
agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah yang melatar belakangi
turunnya firman Allah:
"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit" (QS Al-Isra' 17: 85).
Kehadiran Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi wa Sallam ke Madinah, disambut baik oleh Aus dan Khazraj bukan
saja sebagai pemersatu mereka yang selama ini telah lelah bertempur
dan mendambakan perdamaian tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau
adalah utusan Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui
kehadirannya melalui orang-orang Yahudi.
Adapun orang-orang Nashrani lebih banyak
bertempat tinggal di Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di
sana, mereka tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun
mereka juga disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.
Kembali kepada persoalan di
atas, ditemukan bahwa ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl
Al-Kitab dalam sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa yang
dimaksud dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Al-Qur'an
secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam sifat dan
sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS Ali 'Imran 3: 113). Itu
pula sebabnya, dalam hal-hal yang dapat menimbulkan kerancuan
pemahaman istilah itu, Al-Qur'an tidak jarang memberi penjelasan
tambahan yang berkaitan dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang
dimaksudnya.
Perhatikan misalnya ayat yang
berbicara tentang kebolehan kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana
ditambahkan kata wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara
kehormatannya), sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan
sembelihan mereka, Al-Qur'an mengemukakannya tanpa penjelasan atau
syarat.
MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?
Kebanyakan kecaman terhadap Ahl
Al-Kitab ditujukan kepada orang Yahudi, bukan kepada orang
Nashrani. Ini disebabkan karena sejak semula ada perbedaan sikap di
antara kedua kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim
(perhatikan kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas).
Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia
yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih, dan Al-Qur'an
turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam jangka waktu tidak
lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang, dan ketika itu kaum
Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang" (QS Al-Rum 30:1-5).
Sikap penguasa Masehi pun cukup baik
terhadap kaum Muslim. Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan
perlindungan yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama
Nashrani kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas Al-Qur'an menyatakan:
"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang Nashrani" (QS Al-Ma-idah 5:82).
Sebab pokok perbedaan sikap tersebut
adalah kedengkian orang Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang
tidak berasal dari golongan mereka (QS Al-Baqarah 2:109). Kehadiran
Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan
masyarakat Madinah menciut, dan bahkan menghilangkan
pengaruh politik dan kepentingan ekonomi mereka.
Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an di atas, sebab kedekatan sebagian orang Nashrani kepada kaum Muslim adalah:
"Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah 5:82)
Para pendeta ketika itu relatif
berhasil menanamkan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Isa as.,
sedang para rahib yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan
diri dari kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah),
berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya.
Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan sosial
politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah, sehingga tidak
ada faktor yang mengundang gesekan dan benturan antara kaum Muslim
dengan mereka.
Ini bertolak belakang dengan kehadiran
orang Yahudi, apalagi pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima
sogok, memakan riba, dan masyarakatnya pun amat
materialistis-individualis-tis. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
penyebab utama lahirnya benturan, bukannya ajaran agama, tetapi
ambisi pribadi atau golongan, kepentingan ekonomi, dan politik,
walaupun harus diakui bahwa kepentingan tersebut dapat dikemas
dengan kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.
Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim
mengangkat awliya' (pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat
Islam) dari golongan Yahudi dan Nashrani serta selain mereka,
harus dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam surat
Ali-'Imran 3:118:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani
Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha
dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku apabila mereka
memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."
Rasyid Ridha, mengkritik dengan
sangat tajam pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari - yang menjadikan ayat ini sebagai larangan
bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani secara mutlak.
Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan,
"(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya."
Maksudnya seorang Muslim tidak wajar
bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang
seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api
itu.
Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh
Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi,
tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat
membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk
tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal,
tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan
Nabi dan kaum Muslim.
Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya
berstatus mursal, sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh
tidaknya hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:
"Banyak pengajar hanya merujuk kepada
Tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman
mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi
keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit
pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk kepada
pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya).[1] "
Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid
Ridha, mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan
serupa dalam Al-Qur'an:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS Ali Imran 3:1 18)
Karena ciri-ciri tersebutlah maka
larangan itu muncul, sehingga ia hanya berlaku terhadap orang
yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan
dengan seorang Muslim.
"Sebagian orang tak menyadari sebab
atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa
larangan ini bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama.
Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal masa
kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini menurut para
pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi. Namun demikian ayat di
atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau
kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang
terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa
Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik
menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim
melawan Romawi." [2]
Dari sini dapat ditegaskan bahwa
Al-Qur'an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak
menjalin hubungan kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak
bersahabat. Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim
untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun
selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan
atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran
surat Al-Mumtahanah 60:8 yang dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar
Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an. [3]
Atas dasar itu pula sejumlah sahabat
Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan
memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih
bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua. [4]
Atas dasar pandangan itu pula, kaum
Muslim diwajibkan oleh Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang
telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nashrani, dan pemeluk agama
lain berdasarkan surat Al-Hajj 22:40.
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia. dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa."
Dari prinsip yang sama Al-Qur'an
membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini
wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.
SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?
Di atas telah dikemukakan bahwa
para ulama sepakat menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang
Yahudi dan Nashrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang
rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini
paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika mereka
menafsirkan surat Al-Ma-idah 5:5, yang menguraikan tentang izin memakan
sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara
kehormatannya.
Al-Maududi, seorang pakar agama Islam
kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan
makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: [5]
Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl
Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nashrani keturunan orang-orang
Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan
Nashrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya
diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena
adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan
perkawinan itu).
Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan
pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang
menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau
kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab.
Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut
agama Yahudi atau Nashrani.
Dengan demikian, bila ada satu
kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang
diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja, maka ia pun termasuk dalam
jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian
kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang
memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka
mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya
orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas
lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga
mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian
wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka
juga telah diberikan kitab suci (samawi).
Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M)
yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga
Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati
makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula mengawini
wanita-wanita mereka. [6]
Uraian panjang lebar menyangkut hal
ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha [7] yang menurutnya
bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang
hukum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam
orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).
Ulama besar itu setelah merinci dan
menilai secara panjang lebar riwayat- riwayat yang dikemukakan oleh
para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan,
serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya,
menyimpulkan fatwanya sebagaƵ berikut:
"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa
laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan
wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah
wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh
Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa
orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan
yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab
yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang. [8] "
Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika
menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar
pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri
agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi
menegaskan bahwa:
"Dan yang lebih kuat menurut pandangan
kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa
dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar. [9] "
Penulis cenderung memahami pengertian
Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nashrani, kapan,
dimana pun dan dari keturuunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan
penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas
pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nashrani), dan sebuah ayat dalam
Al-Qur'an,
"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An'am 6:156).
Namun demikian, kita dapat
memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan
Nashrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun
tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat
diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.
Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab
Zakat, Hadis ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan
terhadap Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi:
"tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka."
Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku pula terhadap mereka.
Sebagian lainnya menilai hadis
tersebut berstatus mursal yakni sahabat Nabi yang mendengar atau
menerima hadis tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan
transmisi riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut
dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi
keagamaan.
Sahabat Nabi Abdullah bin Umar
mempunyai pendapat lain. Beliau secara tegas melarang perkawinan
seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa
mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan,
"Saya tidak mengetahui kemusyrikan
yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya
adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah."
Pendapat ini tidak sejalan dengan
pendapat sekaligus praktek sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah
Utsman, Ibnu Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah, demikian pula
para pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:
1. Dalam sekian banyak ayat,
Al-Qur'an menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl
Al-Kitab, dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."
"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu. (QS Al-Baqarah 2:105).
Kata penghubung semacam ini
mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan
itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab.
Demikian juga terlihat pada QS Al-Bayyinah 9]:1 dan 6.
Beberapa pakar tafsir, seperti
Thabathaba'i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
al-musyrikun dalam Al-Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu
bertempat tinggal di Makkah.
2. Al-Qur'an sendiri telah
menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada
hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau
bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya.
Namun demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas,
Al-Qur'an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut
sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.
Al-Qur'an seperti dikemukakan pada awal
uraian ini, sangat teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak
ada peluang untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl
Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.
Atas dasar itu, hampir seluruh
sahabat Nabi, tabi'in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer
tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.
Penulis dapat memahami pendapat
tersebut dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu,
yang dikenal sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi
dalam segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan
kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan
pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang
telah dianugerahkan Al-Qur'an.
Penulis juga dapat memahami seseorang
yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab,
tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang
dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan
hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin apabila
pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup
atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa
tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita
Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam
penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak
istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami
Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah
keindahan dan keutamaan agama Islam.
Adapun jika sang suami Muslim terbawa
oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan
mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan
dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati
– untuk dibubarkan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
- Sikap Al-Qur'an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
- Kecaman yang terdapat dalam Al-Qur'an, lebih banyak tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.
- Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.
- Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari - istimewa menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil sembelihan mereka – diperselisihkan oleh para ulama. Dengan kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat dinilai sebagai sikap terpuji.
Demikian sekelumit uraian Al-Qur'an tentang Ahl Al-Kitab.
Tidak ada komentar:
Write komentar