Sebuah
masjid sepertinya hambar jika tanpa menara. Masjid-masjid jami' di
Indonesia hampir selalu mempunyai menara. Padahal, asal tahu saja,
menara bukan unsur arsitektur asli bangunan masjid. Masjid Quba sebagai
masjid pertama yang dibangun Nabi pun pada awalnya tak mempunyai menara.
Begitu pula ketika masa Islam dipimpin
oleh empat serangkai khalifah al-rasyidin, mulai Abu Bakar hingga Ali
bin Abu Thalib: masjid-masjid yang dibangun tak bermenara. Hanya saja
ada semacam ruang kecil di puncak teras masjid sebagai tempat muazzin
mengumandangkan adzan.
Dalam sejarah arsitektur masjid-masjid
pertama, bisa dikatakan Khalifah Al-Walid (705-715) dari Bani Umayyah
merupakan khalifah yang pertama kali memasukkan unsur menara dalam
arsitektur masjid. Khalifah yang punya selera dan kepedulian tinggi
dalam rancang bangun arsitektur inilah yang memulakan tradisi menara
sebagai salah satu unsur khas pada masjid.
Tradisi membangun menara diawali oleh
Khalifah Al-Walid ketika memugar bekas basilika Santo John (Yahya)
menjadi sebuah masjid besar, yang kemudian menjadi Masjid Agung
Damaskus. Pada bekas basilika tersebut tadinya terdapat dua buah menara
yang berfungsi sebagai penunjuk waktu: lonceng pada siang hari dan
kerlipan lampu pada malam hari.
Menara itu sendiri merupakan salah satu
ciri khas bangunan Byzantium. Rupanya, Khalifah Al-Walid tertarik untuk
mempertahankan kedua menara tersebut. Bahkan, kemudian ia membangun
sebuah menara lagi di sisi utara pelataran masjid (tepat di atas Gerbang
al-Firdaus). Menara ini disebut Menara Utara Masjid Damaskus. Satu
tahun kemudian (706 M), Khalifah Al-Walid memugar Masjid Nabawi di
Madinah. Masjid ini tadinya tak mempunyai satu pun menara. Al-Walid lalu
memerintahkan para arsiteknya untuk membangunkan menara masjid sebagai
tempat muadzin untuk mengumandangkan azan.
Bentuk
menara pada Masjid Nabawi dan menara utara Masjid Damaskus sangat
mirip, terutama pada ornamen kubah puncak menara yang ramping. Yang
jelas, pada saat itu kehadiran menara masjid masih merupakan sesuatu
yang baru. Bentuk menara seperti menara Masjid Agung Damaskus cukup
populer. Bahkan, hingga 250 tahun kemudian, bentuk menara Masjid Nabawi
dan Masjid Agung Damaskus ini juga menjadi model tipikal menara Masjid
Al-Azhar yang dibangun oleh Dinasti Fatimiyah di Kairo.
Bentuk-bentuk Menara
Pada masa awal perkembangan arsitektur
masjid, setidaknya ada beberapa bentuk dasar menara masjid. Tapi yang
paling awal, seperti pada menara Masjid Nabawi dan Masjid Damaskus,
menara itu tidak berdiri sendiri melainkan menyatu dengan struktur
bangunan masjid. Pola seperti ini menyebar ke berbagai penjuru
negeri-negeri muslim melintasi dataran Arab hingga ke Andalusia. Namun
ada juga menara yang dibangun terpisah dari bangunan utama masjid,
seperti menara Masjid Agung Samarra dan menara Masjid Abu Dulaf di
wilayah Iraq.
Ada beberapa bentuk dasar menara masjid:
menara klasik, menara variasi, menara segi empat, menara spiral dan
menara silinder. Pada menara klasik (classic minaret): lantai dasarnya
berbentuk segi empat, naik ke atas menjadi oktagonal (segi delapan) dan
kemudian diakhiri dengan tower silinder yang dipuncaki dengan sebuah
kubah kecil. Termasuk jenis ini misalnya menara Masjid Mad Chalif di
Kairo, yang dibangun pada abad ke-11 masehi semasa pemerintahan Khalifah
Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah.
Sementara itu, jenis menara variasi
diawali dengan segi empat di bagian bawah, lalu bertransformasi menjadi
segi enam yang dihiasi dengan balkon segi delapan. Menara Masjid
Al-Azhar termasuk dalam jenis ini.
Sedangkan menara-menara masjid di Iran
sebagian besar merupakan menara jenis menara silinder dengan diameter
silinder yang semakin mengecil di puncak menara, misalnya menara Masjid
Natanz di Iran.
Sementara
itu di Aleppo (di wilayah Mediterrania), terdapat tren baru bentuk
menara masjid. Menara Masjid Aleppo ini sepenuhnya berbentuk segi empat
dari dasar hingga puncak. Menara yang dibangun oleh penguasa Turki
Seljuk pada tahun 1089 ini menggunakan batu sebagai material utama.
Uniknya, sebagai tren baru, tidak ada kubah di puncak menara. Hasan bin
Mufarraj, arsitektur yang merancangnya, memberikan sentuhan baru dengan
meletakkan muqarnas di puncak menara setinggi 46 meter ini. Muqarnas
tersebut menyerupai galeri dan berfungsi sebagai tempat muadzin.
Masih ada beberapa lagi menara segi
empat yang terdapat di wilayah Mediterrania, seperti menara Masjid Agung
Sevilla (yang disebut Menara Giralda). Menara ini pernah berfungsi
sebagai menara lonceng katederal seiring dengan lahirnya kekuasaan
Kristen di Spanyol. Menara segi empat lain terdapat di Masjid Kutubiyyah
(dibangun 1125-1130) di Marrakesh, Maroko. Keberadaan menara segi empat
pada masjid-masjid tersebut sangat dipengaruhi oleh menara Masjid
Qayrawan (35 meter) yang mempunyai tiga undakan segi empat. Hanya saja,
ada pengamat arsitektur yang menyebutkan bahwa bentuk menara masjid segi
empat ini mengadopsi bentuk mercusuar kuno di Iskandarsyah, Mesir.
Ada sebuah bentuk menara yang jarang
diadopsi oleh menara-menara masjid di dunia, yaitu menara spiral. Bentuk
khas menara pada masjid-masjid di Samarra ini merupakan tradisi dalam
bangunan menara Mesopotamia. Menara Masjid Samarra dan Masjid Dullaf,
bahkan hingga sekarang masih tegak berdiri walaupun sudah berusia 1.200
tahun. Padahal, bangunan masjidnya hanya tinggal reruntuhan saja. Bisa
dikatakan kedua menara ini sebagai peninggalan arsitektur yang
memberikan kesan bahwa perhitungan geometri para arsitek pada masa itu
sudah sangat akurat. Masjid lain yang juga memiliki menara spiral adalah
Masjid Ibnu Tulun di Fustat, Mesir.
Fungsi Menara
Menara
masjid selain berfungsi sebagai tempat bagi muadzin mengumandangkan
adzan juga bisa berfungsi ganda seperti halnya mercusuar atau menara
pengintai. Hal ini terutama terdapat pada menara-menara masjid yang
berada di kota pelabuhan atau tepi sungai. Corak menara Masjid Ribbat
Shushah di Tunisia, misalnya, terdapat pada bangunan corak masjid yang
sangat mirip sebuah markas militer.
Menara berbentuk silinder ini dibuat
dengan gaya yang teramat kokoh untuk sebuah menara yang biasanya
berbentuk ramping. Ribbat Shushah, sebagai kota pelabuhan, memanfaatkan
menara masjid sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas pantai
dari balkon menara.
Dalam sejarah menara-menara masjid
legendaris, masjid-masjid yang dibangun oleh Dinasti Turki Utsmaniyah
tercatat memiliki menara yang paling tinggi. Wajar saja, sebab dinasti
terakhir dalam kekhilafahan Islam ini sudah mengembangkan teknik
konstruksi yang lebih moderen. Menara-menara itu pada umumnya dibangun
dengan menerapkan pondasi pasak bumi generasi pertama.
Hasilnya, mereka bisa membangun menara
masjid dengan ketinggian lebih dari 70 meter. Sebuah prestasi pada
zamannya. Memang, tinggi menara-menara masjid itu masih lebih rendah
dibandingkan menara Masjid Nabawi yang 105 meter. Namun, menara masjid
Nabawi tersebut sudah merupakan hasil renovasi pemerintah Arab Saudi,
yang notabene teknologinya sudah jauh lebih canggih.
Sumberr: http://kalipaksi.com/
Tidak ada komentar:
Write komentar