Penjelasan Lengkap Syeh Siti Jenar – Syekh Siti Jenar juga 
dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan 
Lemah Abang adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah 
seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui 
secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita
 mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
 Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar 
adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu 
sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang 
disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah 
budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai 
bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh 
Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal 
ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep dan ajaran Syeh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan 
konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat 
berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan 
manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang 
disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari 
kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat 
dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi 
tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan 
oleh syariah.
Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti 
Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, 
yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru 
akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh 
Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di 
dalam budi.
Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, 
mirip dengan konsep Al-Hallaj tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada 
awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi, 
tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu:
- Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain.
 
- Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu.
 
- Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.
 
- Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
 
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka 
tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa 
dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang 
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan 
tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar.
Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima 
ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di 
mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih
 pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh 
memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, 
ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung 
dengan label sesat.
Penjelasan Lengkap Syeh Siti Jenar
 Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus 
memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa
 pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya 
saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan 
menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, 
masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat 
pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih 
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang 
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa 
disebut ikhlas.
Ajaran Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar 
tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling 
Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, 
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan 
dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di 
dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai 
dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia. Ketika
 Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan 
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan 
Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan 
bersujud kepadanya.” Q.S. Shaad: 71-72.
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala 
penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an 
dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di 
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham 
Manunggaling Kawula Gusti.
Pengertian Zadhab
Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia
 yang mengalami zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Allah. Mereka 
belajar tentang bagaimana Allah bekerja sehingga ketika keinginannya 
sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya 
hanyalah Allah. Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali 
hanya Allah yang berkehendak.
Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini. Dan inilah 
yang dibahayakan karena apabila tidak ada Guru yang Mursyid yang 
berpedoman pada Al Quran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari 
semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Karena hamba ini
 akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya 
maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.
Hamamayu Hayuning Bawana
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama 
Islam, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Seseorang dianggap muslim salah 
satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, bukannya
 menciptakan kerusakan di muka bumi.
Kontroversi Tentang Syeh Siti Jenar
Kontroversi Tentang Syeh Siti Jenar
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh
 Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah
 para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak 
khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah 
satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, 
adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan 
mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan 
Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan 
kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan 
suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke 
Kesultanan Demak.
Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak cukup
 untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke 
Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang 
akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar 
berada.
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati 
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. 
Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi 
ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan 
Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima 
wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima 
wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa 
meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan 
yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan 
kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak 
keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo,
 dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang 
misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar
 disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan 
cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri 
selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat 
lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama 
lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang
 mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain
 Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.
Kontroversi yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar Syekh Siti 
Jenar adalah salah satu tokoh Islam yang dengan segala kebijaksanaannya 
telah dapat mengadaptasi Islam dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha 
yang menjadi pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat terlihat dengan 
jelas bagaimana nilai daripada kehidupan dan kesejatian manusia dengan 
penciptanya yang ada dalam Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang 
diajarkan Alquran.
Hal ini tentu saja tak berlebihan, karena dengan tingkat kerohanian 
dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu 
melakukan penghormatan kepada leluhur dan melestarikan nilai kebenaran 
yang diwariskan, menyerap agama baru dan melakukan penyesuain nilai agar
 dapat diterima oleh seluruh bangsa sehingga menjadi berkah keluhuran 
bagi alam semesta.
Kalau para wali songo dengan pola gerakan yang lebih kepada 
keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa Sanga di Hindu yang 
mereka personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah pandangan 
masyarakat Hindu dan membelokkan kepada Islam pun dalam penggunaan 
cerita pewayangan Hindu seperti Mahabharata / Brathayudha dan Ramayana 
untuk membantu penyebaran agama Islam dengan melakukan sisipan sisipan 
ke dalamnya, namun Syekh Siti Jenar mengadaptasi nilai yang terkandung 
yang memang sudah ada di masyarakat Hindu dan Budha pada jaman keemasan 
Nusantara sehingga nilai kombinasi yang diperkenalkannya kepada 
masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat ini.
Terbukti bahwa dairah seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah 
dengan eksistensi budaya yang sangat tinggi dan pranata sosial yang 
sangat beradab sebagai hasil penerapan konsep Hindu Budha dari para 
leluhur Bangsa Indonesia dengan nilai Islam sebagai budaya serapan baru.

Tidak ada komentar:
Write komentar