
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
(Lajnah Tsaqofiyah HTI )
(Lajnah Tsaqofiyah HTI )
Untuk mengetahui sikap Islam terhadap 
dialog antarumat beragama, terlebih dahulu harus diketahui paradigma 
Islam terhadap aqidah lain beserta pemeluknya. Terhadap aqidah lain, 
Islam memiliki sikap yang amat jelas dan tegas, bahwa semua aqidah 
selainnya adalah sesat. Terdapat banyak ayat maupun hadits yang 
menjelaskan prinsip tersebut.
Al-Quran menyatakan bahwa Islam adalah dien yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
 (QS Ali Imran 3:19). Karena kebenaran adalah yang datang dari-Nya (QS 
Ali Imran 3:60), amat logis jika hanya Islam yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala
 sebagai dien yang dipeluk dan diikuti manusia (QS al-Maidah 5:3). Dien 
inilah yang diperintahkan untuk diikuti seluruh manusia sejak diutusnya 
Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai nabi dan rasul 
(QS Saba’ 34:28). Perintah itu juga mencakup kalangan Ahli Kitab, yakni 
pemeluk agama Yahudi dan agama Nashrani (QS al-Maidah 5:19). Baik ahli 
Kitab maupun kaum musyrikin diperintahkan untuk meninggalkan aqidah 
mereka dan mengimani Islam (QS Ali Imran 3:20).  Dan setiap orang yang  
sudah beriman, mereka diwanti-wanti agar tetap teguh memegang Islam 
hingga maut menjemput (QS Ali Imran 3:102).
Al-Quran juga menegaskan bahwa semua 
dien – agama maupun ideologi—selain Islam adalah batil dan tidak boleh 
diikuti. Siapa pun yang memeluk dan mengikutinya, tidak akan diterima 
Allah dan digolongkan sebagai orang yang merugi (QS Ali Imran 3:85). 
Mereka juga dikatagorikan sebagai kafir yang jika tidak mau bertaubat 
hingga wafatnya diancam dengan neraka jahannam yang kekal siksanya (QS 
al-Baqarah 2:191, Ali Imran 3:161). Dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِDemi Allah yang jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nashrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Secara khusus al-Quran mengecam beberapa
 aqidah yang dipeluk manusia. Nashrani yang bertumpu pada doktrin 
trinitas yang mengakui ketuhanan Isa as, ditolak tegas oleh Islam. Dalam
 aqidah Islam, Isa as bukanlah Tuhan, namun dia adalah hamba, nabi, dan 
utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan siapa pun yang mempercayai
 doktrin tersebut digolongkan sebagai kafir (QS al-Maidah 5:72-73). 
Penyimpangan Yahudi, baik dari segi aqidah maupun syariah juga banyak 
diungkap dalam al-Quran.
Inilah paradigma Islam terhadap aqidah 
dan pemeluk lainnya. Bahwa Islam adalah agama yang haq, sementara semua 
aqidah lainnya adalah sesat dan pemeluknya terkategori sebagai kafir. 
Bertolak dari paradigma inilah setiap muslim bersikap. Dengan paradigma 
ini, maka seorang muslim akan menjadikan setiap pemeluk aqidah selain 
Islam sebagai sasaran dakwah, berupaya mengajak mereka untuk melepaskan 
aqidahnya dan menggantinya dengan Islam. Caranya dengan membongkar 
kesesatan aqidah lawannya, merobohkan semua argumentasinya, dan membeber
 semua kerusakannya. Selanjutnya, ditanamkan keyakinan mereka akan 
kebenaran Islam dengan memberikan bukti-bukti tak terbantahkan. Banyak 
ayat dan hadits yang memerintahkan umat Islam untuk berdakwah kepada 
non-muslim untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran mereka.
Meskipun demikian, bukan berarti kaum muslim diperbolehkan memaksa mereka untuk meninggalkan agamanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
 melarang tindakan tersebut (QS al-Baqarah 2:256). Jika mereka menolak 
masuk Islam, mereka diberi kesempatan menjadi kafir dzimmi dalam naungan
 Daulah Islamiyyah. Harta mereka haram diambil dan darah mereka haram 
ditumpahkan  kecuali dengan cara yang haq. Mereka juga tidak boleh 
diganggu dan diperlakukan tidak adil lantaran tidak memeluk Islam. 
 Jihad memerangi orang-orang kafir, memang diwajibkan. Namun itu bukan 
dalam kerangka memaksa mereka masuk Islam. Jihad futuhat itu 
diperintahkan manakala mereka menolak memilih di antara dua pilihan, 
yaitu: masuk Islam atau tunduk kepada sistem Islam dengan menjadi kafir 
dzimmi. Jika mereka tidak memilih di antara keduanya berarti dia telah 
menjadikan dirinya sebagai penghalang fisik yang harus disingkirkan 
dengan kekuatan fisik pula alias jihad (QS al-Taubah 9:29).
Berdasarkan paparan di atas, dialog 
dengan pemeluk aqidah lain dengan tujuan untuk berdakwah dan mengajak 
mereka meninggalkan kekufurannya dan mengimani Islam boleh dilakukan. 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  dan para sahabat juga pernah berdialog dengan orang kafir dengan tujuan tersebut.

Tetapi jika dialog lintas agama itu 
bertujuan untuk menemukan titik-titik persamaan antar berbagai agama; 
mereduksi dan memangkas sebagian ajaran Islam untuk dikompromikan dengan
 agama lain; menyamakan dan menyejajarkan Islam dengan agama lain; atau 
bahkan memberikan pengakuan akan kebenaran agama lain jelas dilarang 
Islam.
Apabila dicermati, berbagai dialog 
antaragama yang kini gencar diadakan tidak terkatagori jenis pertama 
namun terkatagori jenis kedua. Tema-tema yang dibahas dalam dialog 
tersebut senantiasa berkisar pada upaya-upaya mengembangkan sikap saling
 toleran, saling mencintai, menciptakan perdamaian, dan melakukan 
kerjasama antar pemeluk agama. Alih-alih melakukan dakwah mengajak 
orang-orang kafir meninggalkan kekufurannya dan mengikuti Islam, 
‘delegasi dari umat’ Islam justru terseret dalam arus ide yang 
menyejajarkan, menyepadankan, dan menyamaratakan agama.
Bahaya Dialog Antar Agama
Di samping bertentangan dengan ketentuan syara’, dialog antar agama itu mengandung sejumlah bahaya. Di antara bahayanya adalah:
Pertama, 
mengikis keimanan tentang Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Tema 
yang senantiasa dibahas dalam dialog dan dianggap sebagai problem 
bersama adalah munculnya ketegangan dan konflik yang dilatari perbedaan 
agama. Solusi yang selalu ditawarkan dalam berbagai dialog itu adalah 
mengikis habis sikap fanatisme agama yang dianggap sebagai biang 
perselisihan. Oleh karenanya, klaim oleh setiap agama yang mengaku 
sebagai satu-satunya kebenaran harus disingkirkan jauh-jauh. Sebagai 
gantinya, dikembangkan sikap saling menghormati, mau menerima perbedaan,
 dan tidak saling menyalahkan. Bahkan harus dicari sisi-sisi persamaan 
antaragama, seperti ajaran cinta kasih, perdamaian, persaudaraan, 
keadilan, dan sebagainya yang selanjutnya menjadi agenda bersama untuk 
disebarkan di tengah masyarakat. Solusi ini tentu dapat merusak keimanan
 seseorang.
Yang perlu digarisbawahi, keimanan 
seorang terhadap Islam sebagai satu-satunya kebenaran tak selalu 
berujung pada konflik agama. Sebab, keyakinan pasti akan kebenaran Islam
 tidak berarti membolehkan atau bahkan mengharuskan pemusnahan pemeluk 
agama lain. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, meski umat Islam 
diperintahkan mengajak mereka kepada Islam, akan tetapi tidak dibenarkan
 memaksa mereka masuk Islam. Dengan demikian, simpulan bahwa ketegangan 
antar agama disebabkan karena fanatisme agama (Islam) merupakan 
simplikasi persoalan yang menyesatkan.

Demikian juga upaya mencari titik 
persamaan agama sebagai tawaran solusi untuk meredam konflik. Sebab, 
perkara yang dianggap sebagai titik persamaan agama  sesungguhnya semu 
belaka. Jika ajaran cinta kasih atau keadilan dianggap sebagai titik 
temu antaragama, samakah ajaran cinta kasih dan keadilan antara Islam, 
Kristen, Yahudi, Hindu, atau Budha? Jawabannya jelas, wujud nyata cinta 
kasih dan keadilan berbagai agama terdapat perbedaan, bahkan kontradiksi
 yang saling menafikan. Sebagai contoh, hukuman rajam yang ditimpakan  
terhadap pelaku perzinaan muhsan adalah adil menurut Islam. Akan tetapi 
hukuman itu bisa jadi dianggap sadis, barbar, atau tidak beradab oleh 
agama lain. Oleh karenanya, seruan menyebarkan cinta kasih, 
persaudaraan, perdamaian, dan sebagainya, tanpa ada kejelasan wujud 
nyatanya adalah seruan absurd alias pepesan kosong.
Kedua, 
memasung totalitas Islam dan mereduksi ajarannya. Di antara tujuan dalog
 antar agama yang sering didengungkan adalah menciptakan kehidupan 
moderat. Sedangkan kehidupan moderat adalah menjauhkan peran agama dari 
kehidupan. Sikap itu jelas akan memasung totalitas syariat Islam yang 
mengatur seluruh kehidupan dan mereduksinya hanya menjadi agama yang 
mengatur urusuan ubudiyyah dan privat lainnya. Ini berarti, dialog antar
 agama makin  menjauhkan umat Islam dari perjuangan menegakkan syariat.
Ketiga, 
membendung gerakan-gerakan Islam yang bertujuan menegakkan syariat Islam
 dalam kehidupan bernegara. Dialog antar agama juga mengutuk terorisme. 
Jika definisi terorisme secara objektif, barangkali tidak terlalu 
menjadi masalah. Sebab, Amerika sebagai negara gembong teroris termasuk 
daftar negara yang dikutuk. Demikian juga Israel, Inggris, Australia, 
dan sekutunya. Akan tetapi definisi terorisme telah dibajak sedemikian 
rupa sehingga label terorisme hanya disematkan kepada setiap individu, 
gerakan, atau negara yang menentang hegemoni Barat beserta ideologinya. 
Pada akhirnya, kutukan kepada terorisme acapkali dialamatkan kepada 
gerakan-gerakan islam ideologis yang akan menegakkan syariah dan 
khilafah yang dapat mengancam kedigdayaan Amerika beserta ideologinya.
Menelisik Asal Usul Dialog Antarumat Beragama
Berbagai bahaya tersebut wajar saja. 
Sebab, jika ditelisik asal-muasalnya dialog antar agama memang berasal 
dari Barat. Baratlah yang memunculkan dialog tersebut dan bersemangat 
untuk mempromosikan ke negara-negara lain. Dialog antaragama mulai 
muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala Perancis mengutus 
delegasinya  guna berunding dengan tokoh-tokoh ulama al-Azhar 
(Kairo-Mesir) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen dan 
Yahudi.
Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti 
dengan Konferensi Paris tahun 1933 (dihadiri para orientalis dan 
misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia,
 Polandia, Spanyol, Turki dll). Tahun 1936 diadakan Konferensi 
Agama-agama sedunia sebelum terjadi perang dunia II. Pada Tahun 1964 
Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar 
agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan buku yang 
berjudul “Alasan Dialog Antar Kaum Muslim dan Kaum Kristiani”. Sepanjang
 dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 
pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antar peradaban. 
Dari fakta tersebut, tampak jelas bahwa di belakang semua kegiatan 
dialog tersebut adalah Barat.
Mereka sadar, untuk memenangkan 
kapitalisme tidak cukup dengan kekerasan seperti yang dipraktekkan 
secara telanjang oleh Amerika di Afghanistan dan Irak, namun juga harus 
memenangkan pertarungan ide. Walhasil, dialog antar agama hanyalah salah
 satu taktik Barat untuk melempangkan jalan buat mereka untuk menguasai 
umat Islam dan negeri-negeri Islam.
Mereka telah berbuat makar untuk menghancurkan Islam dan umatnya, lalu apa yang Anda lakukan untuk membelanya? Wallah a’lam bi al-shawab.
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/
Tidak ada komentar:
Write komentar