Ketika AS dan Barat sibuk menuding Iran soal fasilitas nuklirnya untuk tujuan pertahanan, tak banyak tudingan yang
mengarah pada Israel. Padahal, Israel senantiasa berusaha meningkatkan
kemampuan nuklirnya dengan tujuan militer. Bahkan, proyek nuklir Israel
sejak awal pendiriannya bertujuan militer. Pada tahun 1952, rezim Zionis
mendirikan Komisi Energi Nuklir. Lima tahun kemudian komisi tersebut
mencapai kesepakatan dengan Prancis mengenai pembangunan reaktor riset
Dimona, Negev.
Sejak itu Israel semakin agresif meningkatkan kemampuan nuklir militernya. Pada tahun 1964, CIA melaporkan bahwa Israel berhasil memproduksi bom atom plutonium.
Hingga dekade 1990-an, rezim Zionis meningkatkan jumlah hulu ledak nuklirnya dari 75 hingga 130 buah. Pada tahun 2006, dengan dukungan AS dan negara Barat lainnya, Israel terang-terangan mengumumkan program nuklir militernya. Bulletin of The Atomis Scientist mengumumkan bahwa jumlah hulu ledak nuklir Israel menempati urutan kelima di dunia.
Sejatinya, senjata nuklir merupakan bagian dari doktrin militer Israel. Berbeda dengan Iran yang bersikap transparan terhadap IAEA, Israel justru menolak kedatangan inspektur IAEA untuk meninjau program nuklir yang jelas-jelas bertujuan militer, dan mengancam kawasan dan dunia itu. Tel Aviv juga menolak untuk menandatangani traktat NPT. Namun mengapa Israel yang malah mendesak publik dunia supaya menekan Teheran untuk menghentikan program nuklir sipilnya. Republika
Redaktur: Endah Hapsari
Sumber: Irib/Irna
Tidak ada komentar:
Write komentar