Rabu, 21 April 2010

Amerika vs Rusia, perang dingin baru????

Posted by   on




PENDAHULUAN

Amerika Serikat adalah satu-satunya negara adikuasa yang ada di dunia setelah runtuhnya Uni Soviet. Amerika dengan sejarahnya yang begitu panjang, memiliki hereditas tersendiri bagi kehidupan politik dunia, ditambah dengan dominasi dan hegemoninya terbukti dapat memaksimalkan daya tawarnya yang begitu tinggi dalam mengatur kebijakan-kebijakan luar negerinya bagi negara lain demi kepentingannya, bahkan Amerika tidak segan-segan untuk menerapkan standar ganda demi memenuhi kepentingan nasionalnya.

Sedangkan Rusia, atau disebut Persekutuan Rusia pada masa perang dingin (1947-1991) merupakan bagian dari Uni Soviet yang kemudian menjadi negara merdeka saat Uni Soviet dibubarkan. Saat ini Rusia kemudian dianggap sebagai pengganti Uni Soviet hingga banyak orang yang salah persepsi dan tidak bisa membedakan antara Uni Soviet dan Rusia. Sedangkan Amerika Serikat adalah lawan utama Uni Soviet dimasa perang dingin tersebut. Kedua negara saling berebut “kekuasaan” dengan penyebaran masing-masing ideologi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Amerika Serikat dengan Containment Policy dan Uni Soviet dengan Warm Water Policy berusaha untuk memberikan pengaruh kepada negara lainnya.

Hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia tidak bisa disamakan dengan hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Saat ini Amerika dan Rusia tergabung dalam G8. Tetapi, walaupun kedua negara tersebut sudah sedikit memiliki hubungan baik tetap ada “perang dingin” yang baru antara kedua negara. Beberapa kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Rusia cukup sering bertentangan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terutama kebijakan luar negeri masing-masing negara terhadap negara-negara di Timur Tengah. Maka, dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya kebijakan luar negeri kedua negara tersebut, baik kebijakan luar negeri Rusia dan Amerika terhadap negara lain maupun kebijakan luar negeri kedua negara terhadap negara lainnya.

Hal pertama yang harus dipahami dalam mendalami hubungan luar negeri suatu negara adalah dengan memahami sejarah kebijakan luar negerinya terlebih dahulu. Penulis tidak akan membahas kebijakan luar negeri Amerika Serikat terlalu jauh ke belakang, penulis akan mencoba untuk menelaah bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca Perang Dunia II, dimana kita bisa mempelajari mengenai Containment Policy yang dikenal sebagai politik pembendungan atas kebijakan luar negeri Uni Soviet. Karena pengaruh dari kebijakan masa perang dingin akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelahnya.

Sedangkan Russia, yang merupakan sebuah negara baru dengan konstitusi pada tahun 1993 belum memiliki sejarah kebijakan luar negeri yang begitu panjang, kecuali dikaitkan dengan negara induknya pada masa perang dingin yaitu Uni Soviet. Namun, penulis akan mencoba memfokuskan kebijakan Rusia tanpa mengaitkan dengan kebijakan luar negeri Uni Soviet.

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Kehidupan pasca Perang Dunia II merupakan sebuah tantangan baru bagi Amerika Serikat, Amerika menemukan bahwa Uni Soviet merupakan kekuatan besar di Eropa Timur. Pada tahun 1947 George E. Marshall mendesain kebijakan untuk memperbaiki keadaan di Eropa yang dikenal dengan nama Marshall Plan. Salah satu isi dari Marshall Plan adalah menjadikan Jerman Timur sebagai buffer bagi kekuatan Uni Soviet, dan pembentukan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada tahun 1949 telah membantu pembendungan terhadap komunisme Uni Soviet.

Kemudian George Kennan, menambahkan bahwa kebijakan luar negeri Amerika harus memiliki sebuah kekuatan untuk membendung secara geografis maupun politis untuk mengatasi manuver-manuver politik yang dilakukan oleh Uni Soviet, yang kemudian saran Kennan ini disebut dengan Containment Policy.

Pada saat perang dingin berlangsung, kebijakan Amerika terfokus pada pembendungan terhadap penyebaran komunis. Amerika dan Soviet berebut pengaruh di Amerika Latin, bisa terlihat dalam konflik misil di Kuba, kemudian Amerika terlibat perang dalam perang-perang yang bukan untuk mereka. Seperti perang melawan komunis di Vietnam dan Korea. Amerika hanya berhasil mencegah penyebaran komunis ke Korea Selatan namun gagal untuk membendung komunis di Vietnam. Selain hal tersebut, dunia juga dihantui rasa takut akan terjadinya perang nuklir di antara kedua negara, namun hal tersebut tidak pernah benar-benar terjadi karena kedua negara memiliki kekuatan yang hampir sama besar sehingga tidak ada yang berani untuk melancarkan serangan terlebih dahulu terlebih Amerika membentuk NATO, yang memiliki prinsip Collective Deffence yaitu bahwa setiap anggota negara NATO bersedia membantu anggota NATO yang lain apabila diserang terlebih dahulu.

Pada tahun 1980an, perlombaan persenjataan mulai tidak bisa dikejar oleh Soviet. Kehidupan dalam negeri Uni Soviet pun mulai tidak stabil karena banyaknya rakyat yang menuntut kebebasan. Hingga akhirnya pada tahun 1989 simbol pemisah antara 2 Jerman berhasil diruntuhkan, saat itu Soviet berada dibawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev yang terkenal dengan glasnost dan perestroikanya dan 2 tahun kemudian Uni Soviet runtuh. Berakhirnya perang dingin ini membuat Amerika harus memperbaharui kebijakan luar negerinya.

Presiden George Bush dan Bill Clinton yang kemudian memimpin Amerika Serikat pasca perang dunia II mulai kehilangan arah kebijakan, keduanya memiliki konsensus yang kurang jelas terhadap kebijakan luar negeri, karena Amerika harus kembali ke tahap awal untuk memahami peta dunia tanpa adanya Uni Soviet lagi. Kemudian kebijakan Amerika lebih menekankan akan adanya konflik entik dan antar negara, hal ini terbukti dengan terlibatnya Amerika dalam perang teluk yang terjadi di tahun 1991 setelah Irak menginvasi Kuwait dan Clinton merespon krisis di Bosnia Herzegovina dan Kosovo.

Pada tahun 1992, Konggres Amerika telah mengeluarkan UU yang mendukung Liberalisasi, yang menjadi pijakan utama politik luar negeri Amerika terhadap Russia untuk mengukuhkan pengaruhnya di Balkan, Baltik dan Asia Tengah.

UU tersebut, secara resmi diperkenalkan dengan nama: “Liberalisasi Russia” dan Negara-negara Demokratik Uruoasia yang Baru Lahir, serta UU yang mendukung pasar terbuka tahun 1992, atau apa yang diperkenalkan sebagai UU yang mendukung Liberalisasi. UU tersebut dengan tegas mendefinisikan negara-negara yang menjadi sasaran para pembuat kebijakan Amerika. Alenia ketiga, UU tersebut menyatakan: Untuk tujuan pembuatan UU ini, sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “Negara-negara yang sebelumnya merupakan bekas pecahan Uni Soviet” dan “Negara-negara merdeka” adalah Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Georgia, Kazakhtan, Kirgistan, Maldova, Russia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina dan Uzbekistan.

Tujuan UU ini adalah mendukung tersebarluaskannya kebebasan dan demokrasi di negara-negara ini, dan membuka pasar-pasar untuk perusahaan Amerika. UU ini menyatakan: Amerika Serikat dalam kondisi yang istimewa, karena faktor peninggalan (budaya) dan kulturnya, dapat melakukan persiapan untuk memberikan kontribusi yang besar dalam perubahan ini, dengan cara membantu membidani lahirnya sentra demokrasi, dan menciptakan situasi yang bisa mendorong komunitas dagang Amerika untuk terlibat dalam bisnis dan investasi. Kegagalan dalam memanfaatkan kesempatan yang terjadi akibat adanya perkembangan ini, justru bisa mengancam kepentingan keamanan nasional Amerika.

Di awal abad 21 partisipasi Amerika dalam isu internasional terlihat dari keterlibatan negara adidaya itu dalam organisasi-organisasi internasional seperti Persekutan Bangsa-bangsa (PBB), NATO dan World Trade Organization (WTO). Pada akhir abad 20 ini muncul sebuah statement dari presiden Clinton pada saat terjadi protes terhadap pertemuan WTO di Seattle, Washington di akhir 1999.

“We cannot grow the American economy in the 21st century unless we continue to sell more to a world that is prospering and that is more connected with everything else in the world.”1

Memasuki abad ke 21, Amerika memiliki tantangan besar. Terlebih pasca serangan teroris pada tanggal 11 September 2002 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa 9/11 yang membawa dampak yang begitu besar terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dalam merespon kejadian ini Presiden Amerika terpilih George Walker Bush mengeluarkan kebijakan luar negeri Amerika yang berjudul The National Security Strategy of the United States dan lebih dikenal dengan Bush Doctrine atau doktrin Bush.

______________________

1.Microsoft student with Encarta Premium 2007

Isi dari doktrin tersebut antara lain:

1. We will defend the peace by fighting terrorist and tyrants

2. We will preserve the peace by building good relations among great powers

3. We will extend the peace by encouraging free and open societies on every continent

Doktrin Bush telah digunakan untuk pertama kalinya saat Amerika menyerang Irak pada tahun 2003 dimana Amerika tetap yakin bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Amerika bergerak dengan dukungan dari sekutunya yaitu Inggris walaupun sebenarnya penyerangan Amerika terhadap Irak tidak memiliki izin dari Dewan Keamaan PBB. Dua pilar utama doktrin Bush ini (yaitu pencegahan atau preemption dan unilateralisme) telah menjadi alasan utama penyerangan Amerika terhadap Irak walaupun kepemilikian senjata massal oleh Irak tidak terbukti, Amerika tetap berargumentasi bahwa mereka telah menjatuhkan rezim dictator yang berbahaya dan membuat dunia dan memperbaiki keamanan kawasan serta memperluas demokratisasi.

2.2 Multilateralisme dan Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat

Dalam pidato State of the Union, Presiden George W Bush menegaskan kembali freedom sebagai nilai dari bangsa Amerika dalam mewujudkan perdamaian dunia dan mendasari tiap langkah politik luar negeri (polugri) AS. Menurut Bush,



the only force powerful enough to stop the rise of tyranny and terror, and replace hatred with hope, is the force of human freedom.



dengan demikian, kebijakan polugri AS ke depan tidak terlepas dari tujuan untuk mengakhiri tirani di seluruh dunia.2





____________________

2Hutabarat Leonard, Kompas, 8 Maret 2005

Amerika Serikat (AS) mendukung institusi internasional, tetapi pada saat yang sama juga menolak hambatan yang diakibatkan oleh multilateralisme dan cenderung untuk bertindak secara unilateral. Terdapat dua sumber ambivalensi ini, pertama terdapat hasrat yang alami bagi AS sebagai superpower untuk memaksimalkan kebebasan bertindaknya di luar negeri. Kerja sama multilateral dianggap hanya atraktif bagi negara yang lebih lemah (weaker power). Sebaliknya, AS secara sekilas tidak memiliki banyak insentif untuk melandaskan diri pada institusi global dan tidak berisiko apabila mem-bypass-nya. Dominasi AS juga memberikan justifikasi yang positif bagi aksi unilateralnya.

Sumber kedua didorong oleh kekhawatiran bahwa kedaulatan nasional AS akan ditekan oleh organ global governance yang dianggap tidak demokratis dan tidak akuntabel. Terdapat kecemasan bahwa kepentingan domestik, tradisi konstitusional dan institusi politiknya akan menjadi subordinasi dari rezim internasional. Para pendukung doktrin American exceptionalism memberikan argumen bahwa hukum dan institusi domestik memiliki supremasi di atas komitmen internasional dan standar legitimasi politik membolehkan AS keluar atau tidak terikat pada inisiatif internasional tertentu.

AS kadang kala bertindak sendiri sebagai the lone superpower-untuk mencapai immediate gain atau menghindari short-term pain. AS berusaha memaksimalkan kebebasannya untuk bertindak dan mengurangi constraint atas perilakunya untuk membendung ancaman yang dihadapinya dengan caranya sendiri. AS menerapkan pendekatan unilateralisme, mendukung self-reliance dan cenderung mengesampingkan multilateralisme. Multilateralisme digunakan case by case sesuai kepentingannya. Preferensi AS adalah penggunaan hard power, kekuatan militer, kemampuan ekonomi dan kepemimpinan diplomasi dibandingkan soft power.

Risiko dari ambivalensi kebijakan multilateralisme AS ini, antara lain, pertama, merintangi upaya kebijakan yang koheren dan efektif terhadap masalah global tertentu, seperti International Criminal Court misalnya. Kedua, mengurangi respons kolektif bagi tantangan transnasional, seperti Kyoto Protocol dalam mengatasi global warming. Ketiga, melemahkan institusi yang vital bagi AS sendiri, seperti penolakan verifikasi protokol Biological Weapons Convention. Keempat, memperlambat penyebaran rezim internasional seperti halnya dalam kasus penolakan CTBT. Kelima, menghalangi kemampuan AS untuk memobilisasi dukungan dari negara lain mengingat double standard yang ada menyulitkan untuk mendorong koalisi dalam institusi internasional.

Pilihan untuk bekerja sama dengan negara lain melalui upaya multilateral dan institusi internasional memiliki justifikasi yang strategis dan realist karena akan memberikan legitimasi bagi kekuatan hyperpuissance AS di dunia. Hal tersebut juga dinyatakan dalam US National Security Strategy (2002). Dalam konteks inilah dunia menanti realisasi janji Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice dalam dengar pendapat di hadapan Komite Senat untuk Urusan Luar Negeri bahwa ia akan mengedepankan diplomasi dalam periode Bush empat tahun ke depan, termasuk memulihkan hubungan AS-Eropa.

Namun, apabila janji multilateralisme tersebut hanya merupakan strategi dari pihak administrasi sebagai sesuatu yang a la carte multilateralism, seperti yang dideskripsikan oleh Richard Haas dengan pendekatan yang diskriminatif, maka polugri AS ke depan tidak lebih dari kontinuitas dari kebijakan Bush yang agresif sebelumnya dan dikhawatirkan banyak negara akan meningkatkan ketegangan dunia. Di mana AS hanya akan menempuh pendekatan multilateral kepada sekutu-sekutunya, namun akan menerapkan cara-cara Amerika terhadap negara-negara bukan mitranya dalam menjalankan manifest destiny-nya.

Janji Bush untuk mengakhiri tirani di seluruh dunia dan mengembangkan kebebasan di negara-negara yang mempraktikkan kekerasan dikhawatirkan akan meningkatkan permusuhan dan pertikaian di seantero dunia yang tidak sehaluan dengan konsepsi American freedom. Bush tampaknya sangat terinspirasi dengan konsepnya Natan Sharansky-The Case for Democracy: The Power of Freedom to Overcome Tyranny and Terror. AS dalam era Bush saat ini cenderung berkeyakinan bahwa penyebarluasan kebebasan merupakan bagian yang terpenting dari upaya melindungi AS. Bush yakin akan kekuatan transformatif dari keleluasaan bertindak (Kompas, 5/11/2004). Upaya AS mewujudkan free societies di Irak dan Afganistan tidak jauh dari manifesto kebijakan luar negeri a la Sharansky-seorang politisi Israel yang ditahan 13 tahun dalam penjara Soviet gulag dan dibebaskan tahun 1986. Dengan open square test-nya, Sharansky menekankan bahwa kebebasan dan demokrasi adalah masa depan kemanusiaan, dan penyebarluasan kebebasan serta demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk menjamin keamanan bagi tiap individu

2.3 Sejarah Kebijakan Luar Negeri Russia

Russia menjadi negara merdeka setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Menteri Luar Negeri Andrey Kozyrev dengan presiden Yeltsin muncul dengan kebijakan-kebijakan yang lebih pro Amerika Serikat. Namun, keadaan dalam negeri sendiri tidak mendukung dengan kebijakan ini. Tokoh nasionalis Rusia yaitu Vladimir Zhirinovsky mengungkapkan bahwa rakyat Rusia menginginkan pemerintahan yang lebih nasionalis, serta tidak terlalu pro barat dalam kebijakan-kebijakan luar negerinya. Hasilnya adalah Rusia kemudian tetap menjual senjata dan nuklir untuk kepentingan positif (bukan senjata nuklir) ke negara-negara berkembang, termasuk Iran didalamnya meskipun hal ini tidak disetujui oleh Amerika Serikat.

Kebanyakan kebijakan-kebijakan luar negeri Rusia pada awal 1990an (pada awal kemerdekaannya) itu hanya merupakan retorika saja, tanpa adanya pembuktian ataupun pengaplikasian dari kebijakan tersebut. Pada tahun 1997 Rusia menandatangani perjanjian tentang batas-batas teritori negara mereka dengan negara pecahan Uni Soviet lainnya yaitu Ukraina.

Ada beberapa alasan mengapa Rusia begitu lemah dan “mengalah” pada keinginan Ukraina mengenai perbatasan di Laut Hitam, hal ini karena Rusia menyadari kelemahannya di bidang ekonomi dan militer, karena jika masalah mengenai perbatasan ini dibesar-besarkan maka konflik yang lebih besar akan terjadi diantara negara pecahan Uni Soviet dan ancaman konflik etnis-pun bisa terjadi. Lebih jauh lagi, Yeltsin berfikir bahwa Rusia harus bergabung dengan institusi perdagangan yang didominasi negara-negara barat yaitu WTO (World Trade Organization) jika hal tersebut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan menyebarkan pengaruh Rusia ke kehidupan dunia.

2.4 Kebijakan Amerika Terhadap Rusia

Pasca perang dingin bagi Amerika Serikat bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Karena setelah runtuhnya Uni Soviet, disintegrasi Yugoslavia dan tatanan dunia baru. Bukannya menjadikan keadaan dunia stabil hal ini justru memicu berbagai masalah seperti resesi ekonomi, ketidakstabilan politik dan berbagai konflik yang terjadi. Tantangan terbesar bagi kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah untuk mencari jalan keluar bagi semua permasalahan itu.

Rusia, yang merupakan negara paling dominan di Soviet, menjadi salah satu negara terpenting dan harus diberi perhatian lebih dalam pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Presiden Soviet Mikhail Gorbachev yang terlihat seperti pahlawan gedung putih daripada bagi bangsanya sendiri ini telah kehilangan kekuasaan dan pahlawan Amerika yang lain yaitu Boris Yeltsin menjadi presiden baru di Rusia, yang telah kita ketahui bahwa kebijakannya lebih pro barat. 2 isu penting dalam hubungan antara Rusia dan Amerika yaitu :

the continuing existence and threat of nuclear weapons, and the question of whether the United States could do anything effective to help the Russians revive their economy and replace the old centralized economic system with a free-market system.3

______________________

3. Op Cit.

Isu pertama mengenai nuklir menjadi memiliki lebih banyak tindak lanjut disbanding dengan isu kedua. Yeltsin dan Bush bertemu di Washington untuk membnicarakan tentang reduksi senjata nuklir kedua negara dibawah jumlah minimum pada perjanjai Strategic Arms Reduction Treaty pada tahun 1991. Tujuan dari hal ini adalah untuk mengurangi jumlah senjata nuklir yang dimiliki kedua negara (lebih dari 20,000 dipertengahan tahun1992; diproyeksikan untuk menjadi 15,000-16,000 di akhir 1990an dibawah perjanjian tahun 1991 ) menjadi 7,000 atau kurang bahkan dibawah 3,000 – 3,500 masing-masing negara pada tahun 2003. Negosiasi yang lebih detail terbukti lebih sulit daripada yang telah diperkirakan, tapi kedua pihak sangat berkeinginan untuk menyelesaikan persetujuan sebelum Bush lengser dari jabatannya 20 Januari 1993. Akhirnya pada Desember perjanjian tersebut selesai dan ditandatangani kedua pemimpin negara pada 3 Januari 1993 perjanjian tersebut di tandatangani di Moskow dan dikenal dengan nama Strategic Arms Reduction Treaty II (Start II).

2.5 NATO dan Rusia

Hubungan Rusia dengan negara barat bertambah buruk pada tahun 1999 saat NATO mengakui Polandia, Hungaria dan Republik Ceko sebagai anggota baru dari organisasi internasional tersebut. Karena Rusia beranggapan bahwa hal ini menunjukkan aneksasi yang baru dari dunia barat terhadap negara-negara bekas Uni Soviet juga bekas Yugoslavia. Walaupun mereka tidak setuju dengan keadaan itu, pembuat kebijakan Rusia menyadari kelemahan negaranya bahwa mereka masih membutuhkan negara barat untuk memperbaiki kehidupan ekonominya.

Pemimpin Rusia, Vladimir Putin pada kenyataannya merasakan ketakutan untuk membina hubungan baik dengan negara barat. Putin mengejar kebijakan luar negeri yang lebih kooperatif dengan negara barat. Pasca serangan teroris 9/11, Rusia menjadi salah satu negara kunci dalam memerangi teroris bersama Amerika dan untuk pertama kalinya pada Mei 2002 Rusia dan Amerika menandatangani perjanjian untuk mengurangi jumlah persenjataan diantara ke dua negara, dan dibulan yang sama Rusia menjadi anggota terbatas NATO.

2.6 Hubungan Rusia dan Amerika Terkait Kebijakan Terhadap Republik Islam Iran

Meskipun mendapat tekanan kuat dari Amerika Serikat, Rusia mengabaikannya dan menandatangani kesepakatan program nuklir dengan Iran dan tetap membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Bushehr, Iran. Presiden Vladimir Putin menegaskan, Rusia siap mengucurkan 1 miliar dolar untuk proyek reaktor Bushehr. Putin yakin Teheran tidak punya rencana membuat senjata atom.

Namun di sisi lain AS khawatir jika reaktor berkekuatan 1.000 megawatt itu akan digunakan Iran untuk memproduksi senjata atom. Iran membantah tuduhan AS. Seorang pakar non-proliferasi berpendapat bahwa jika Rusia menginggalkan proyek ini maka Rusia kemungkinan bear akan menghancurkan hubungan diplomatic dengan Iran dan merusak posisi Rusia dikawasan itu.

Keputusan untuk tetap melanjutkan proyek nuklir ini bukan hal yang mudah bagi Putin. Sebab, dia menjalin persahabatan secara personal dengan Presiden AS George W Bush.

Salah satu butir kesepakatan Rusia-Iran adalah mewajibkan Iran mengirim kembali semua bahan bakar nuklir dari reaktor Bushehr ke Rusia. Rusia berharap, hal itu sedikit meredakan kekhawatiran AS bahwa Iran akan menggunakan bahan bakar itu untuk memproduksi senjata.

Ratusan teknisi dan ilmuwan Rusia dikerahkan untuk membangun reaktor itu. Reaktor itu akan beroperasi pada akhir tahun ini dan mencapai kapasitas penuh pada 2006.

Hal ini cukup untuk memperuncing hubungan antara Rusia dan Amerika yang sempat membaik pasca perang Dingin. Bahkan Bush mempertanyakan kemerosotan praktek demokrasi di Rusia. Desakannya kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menegakkan demokrasi di Rusia itu bakal makin memperuncing hubungan AS-Rusia.

Dalam sebuah pembicaraan antar Bush dan Putin disebutkan bahwa kedua negara sepakat untuk mengamankan material nuklir, agar tidak disalah gunakan. Kesepakatan mengenai nuklir adalah untuk mengamankan rudal-rudal nuklir guna melindungi dari serangan terorisme.

KESIMPULAN

Melihat dan mempelajari sejarah kebijakan luar negeri kedua negara dari waktu-ke waktu merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk ditelaah. Kehidupan bagi Rusia setelah Uni Soviet runtuh merupakan tantangan tersendiri bagi pemimpin mereka saat itu, Boris Yeltsin. Kebijakan Uni Soviet yang begitu bertentangan dengan Amerika kini berubah menjadi kebijakan yang pro Amerika walaupun beberapa kaum nasionalis mengininkan tindakan yang lebih dari pemimpin mereka.

Amerika, pun dengan tatanan dunia baru kehilangan arah kebijakannya. Mereka harus meraba-raba kembali seperti apa kebijakan mereka seharusnya. Dukungan mereka terhadap Rusia baik secara ekonomi maupun politik dirasakan merupakan hal yang baru bagi dunia perpolitikan ini. Kebijakan tentang nuklir menjadi perhatian paling besar, kedua negara sepakat untuk mengurangi jumlah senjata nuklir mereka dengan memperbaharui Start I dengan Start II.

Namun, kedua negara ini memang sulit disatukan dalam beberapa isu, seperti kebijakan Rusia terhadap Iran, karena walaupun rencana Rusia untuk mengembangkan nuklir di Iran ditentang keras oleh Amerika, Rusia tetap menjalankan rencananya tersebut. Dari sini lah kontroversi yang hubungan kedua negara kembali menegang.

Amerika yang mendeklarasikan dirinya sebagai polisi dunia pasca 9/11 menjadi begitu gerah dengan hal ini, karena mereka takut jika proyek pengembangan nuklir Iran malah berkembang menjadi senjata nuklir, hal ini dianggap bertentangan dengan Start I dan Start II serta Perjanjian Non Ploriferasi (NPT – Non Proliferations Treaty). Dimana, ketiga perjanjian tersebut dibuat untuk membatasi perkembangan dan kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara lain.

Sejarah kedua negara, berperan besar dalam pengaruh kebijakan mereka satu sama lain. Walaupun Rusia bukanlah Uni Soviet tetapi mereka tetap memiliki arogansi Soviet. Serta meskipun Amerika adalah negara yang begitu besar pengaruhnya di dunia politik saat ini masih tetap membutuhkan Rusia.

Ketegangan dan saling kecam yang terjadi antara dua negara merupakan bagian dari kebijakan luar negerinya. Saling tarik ulur terjadi hampir disetiap isu-isu strategis. Mungkin memang perang dingin telah berakhir. Namun, perang dingin kedua negara masih akan terus berlangsung.


DAFTAR PUSTAKA

Leonard, Hutabarat, Kompas, 8 Maret 2005.

Microsoft Student with Encarta Premium 2007 DVD

Tidak ada komentar:
Write komentar